Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila

Salam sastra,

Rencana awal adalah membukukan esai/artikel mengenai Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan sebagai buku pendamping antologi tersebut, namun naskah yang tersedia minim sekali maka timbul pemikiran agar rencana pembukuan tetap dilaksanakan, akhirnya esai yang ada ditambah beberapa esai lainnya yang isinya berhubungan dengan saya lalu saya terbitkan menjadi buku kumpulan esai “ Risalah Penyair Gila “ ini. Esai mengenai Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan saya muat di antologi tersebut sebagai epilog untuk cetakan yang kedua. Saya tak dapat membalas kebaikan dan solidaritas teman – teman atas esai – esai tersebut buat saya, selain mengucapkan terima kasih. Semoga Tuhan yang akan membalaskannya. Amin. Buku kumpulan esai ini adalah sebagai kenang – kenang ultah saya yang ke – 59, 31 Desember 2008.

Banjarbaru, 31 Desember 2008

Arsyad Indradi



Selasa, 10 Maret 2009

"Kalalatu" Ekspresi Arsyad Indradi Dlm.IntrinsiknPuisi


Oleh : Noor Hana

Bahasa lisan selalu dituntun oleh pengujar atau pembicaranya. Sedangkan sebuah teks tertulis memiliki maknanya sendiri setelah dipublikasikan. Artinya, kalau kita terlibat dalam suatu pembicaraan lisan maka maksud pembicara yang belum jelas dapat dipertegas dengan mengajukan pertanyaan kepada pembicara tersebut. Sebaliknya, sebuah teks, dalam hal ini puisi, tidak lagi sepenuhnya tergantung pada penjelasan yang diberikan oleh penyair tetapi tergantung pada tafsir pembaca atas puisi tersebut.
Antologi Puisi “Kalalatu” karya Arsyad Indradi yang kental dengan nuansa tanah Banjar ini mengajak saya untuk menjelajahinya baik dari situasi bahasa, tema, bahasa puisi mau pun bentuk puisi.
Situasi bahasa “ Kalalatu “, terlihat pada sajak “ Kai Adul “ mengungkapkan pikiran yang didasarkan oleh suatu pengamatan dan ingatan di masa lalu. Subjek lirik sajak ini sulit disifatkan, yang dapat dilakukan hanyalah membuat interpretasi tak langsung berdasarkan penggunaan kata-katanya. Sajak ini memasukkan persona ketiga, yakni Kai Adul yang digambarkan hanya dari sudut pandang pembicara, namun pandangannya sendiripun diungkapkan di dalamnya.
Setelah bacaan terakhir, penulis dapat menentukan secara umum, apa yang dibicarakan dalam sajak: pembicara dalam teks, yaitu subjek lirik terkenang kembali tentang sosok yang menjadi panutan dan sangat dikaguminya. Subjek lirikbercerita tentang masa dulu, ketika masih kecil ia bersama saudara dan anak-anak sebayanya begitu menikmati kebersamaan dengan tokoh yang bernama Kai Adul. Mereka memijat tangan dan kaki Kai Adul, mendengarkan nasehat dan petuah beliau mengenai kehidupan. Bayangan dari masa lalu ini muncul dan sampai pada hari itu ia masih tetap mengingat dan mengamalkan apa yang selalu diajarkan oleh Kai Adul.
Dalam sajak ini tidak dikatakan secara eksplisit apakah subjek lirik ini adalah wanita atau laki-laki, sehingga peneliti tidak dapat mengidentifikasi jenis kelamin dari subjek lirik, akan tetapi dalam teks tentu tetap ada petunjuk. Dalam sajak ini, disebut kata kami, akan tetapi tetap saja itu merupakan narasi dari satu orang saja. Pembicara adalah seorang anak yang telah menjadi dewasa kemudian berbicara mengenai masa kecil bersama anak-anak sebayanya dan Kai Adul, yang paling jelas adalah pada bait terakhir ......Mun kami takumpulan taganang aruah Kai/Sidin tahu nangapa nang handak kami pinta/Sampai wayahini kami pingkuti papadah sidin/Bismillah nitu anakkunci pambuka lawang surga
Hal lain yang mungkin menjadi petunjuk adalah penggambaran mengenai cara bertutur Kai Adul terhadap subjek lirik pada larik keduabelas /hidup ada aturannya tungai/ kata ’tungai’ lazim digunakan untuk anak-anak, meski tidak mutlak memiliki hubungan kekerabatan, namun kata-kata ini menunjukkan hubungan emosional yang kuat antara keduanya.
Dalam sajak tersebut, perasaan subjek lirik menjadi himpunan perhatian, walaupun kadang-kadang menjadi rumit karena dimasukkan orang ketiga sehingga sajak bisa bersifat dialog. Jika subjek lirik tidak berbicara kepada seorang pendengar maka sajak dapat menjadi semacam pendapat yangbersifat umum, dapat dikatakan sajak ini memasukkan unsur kisahan.
Sajak yang memuat unsur kisahan, dimana subjek lirik bercerita, mengungkapkan pikiran dan pengamatannya tentang persona ketiga, juga terdapat pada sajak lain dalam antologi ini seperti sajak “ Nini Aluh “Mun taganang aruah nini barubuian banyumata/Sidin caramin mata wan wadah baungah /Nini landang umur jar urang sidin babustan....Handaklah nyaman mambuka lawang surga/Apikapik mamalihara muntung wan mamalihara rupa/Basuh batistangan wan adat pusaka ....Kemudian pada sajak Imbah itu inya kada tahu lagi wan dirinya/Nang tahu teja mambari sajumlah warna/Jalan“Bagandang Nyiru” ... nang kada tarasa asing dijalani/Hanyar babarapa hari badapat wan Ainun/Rasa saratus tahun bakawanan singrakatan//Kada kawa dikisah lagi bauma tiri/Juhri nang babatis panjang sabalah/Lamun harat bagimpar wan bagipang /Dikampung ngaran tapuji ......
Perkataan pembicara dalam sajak Kai Adul tidak ditujukan kepada seseorang pendengar khusus. Monolog subjek lirik ditujukan kepada dirinya sendiri. Ia mengenang masa lalu, karena situasi dan kondisinya pada saat itu sangat memungkinkan untuk membuka kembali ingatannya tentang tokoh Kai Adul. Dirinya merenungi betapa petuah-petuah yang dulu selalu Kai Adul berikan amat dipegang oleh subjek lirik (dan anak-anak lain yang kemudian disebutnya dengan ’kami’). Sudut pembicara yang tidak ditujukan pada pendengar khusus, atau hanya berupa monolog pada diri sendiri banyak dimunculkan dalam Antologi ini. Sajak “Sarai sarapun” berbicara mengenai subjek lirik yang mengingatkan dirinya sendiri untuk selalu mawas diri. Baik batuakal kugamati sakikihduakikih/matahari nang mantapuk kabumbunan/ maulah pananjak bahindang bahindala/ kaina kada sawat baulah jalan/ manyampati ari/ bursiah sanja bagasut bahantak/ ka sangkar bumi.
Dalam banyak sajak, pendengar yang diajak bicara tetap implisit. Tidak hanya untuk diri sendiri, terdapat pula sajak yang ditujukan untuk alam dalam sajak Bulik Balanting.. .....Baturai wan hujan garimis/Aku tajipah/Dalam rajut lunta rakun/Kukikih carucuk/Nang batabul. Ilungilung maumbakgalahani/Sanja sasain bagalusut sasain mamarah janar dimataku/Kada usah lagiah batakun kamana burung-burung /Maurak halar. Kamana hutan bakau mancari /Humbayang sampai ka muhara/ Mun angin manampur/Kadundangakan parimataku.............
Dengan mengajak bicara sesuatu yang tidak hadir, mati atau tak bernyawa, sesuatu itu dihadirkan, dihidupkan, dimanusiakan. ’langitai’ dan ’bumiai’ menjadi pemantul suara yang walaupun sendirinya diam, namun tanggap terhadap subjek lirik yang justru memerlukan pemantul semacam itu untuk mengungkapkan perasaannya. Kita lihat sajak “ Zikir Madihin “ ....Malam Ramadhan ini aku mambuang supan /Mambuang takutan aku musti badatang kahadapanmu/Galitiran kadua tanganku/Galitiran kadua tanganku/Galitiran manadah ka arasymu/Parau bakiau asmamu dalam sisiganku/Padih mataku dalam cahaya matamu/Ya Rabbi jangan engkau pajahakan /Lampu bashirah di tanganmu nyalaakan/Wan ma’rifatullah dalam batinku ....
Orang kedua diajak bicara, tetapi tidak menjawab. Harus dipahami dari teks siapa orangnya dan apa hubungannya dengan subjek lirik. Di sini hubungannya Khalik dan makhluk. Jelaslah bahwa tidak ada jawaban dari pihak kedua, dari potongan sajak itu terungkap kerinduannya akan Tuhan yang dia dekati dengan deskripsi yang angkuh, namun penuh harap.
Tema Kalaltu adalah subjek lirik serta perasaan dan pikirannya merupakan pusat sajak. Tidak ada perjalanan waktu seperti halnya dalam sebuah kisah. Meski begitu, sajak juga berisi sejumlah keterangan konkret mengenai dunia yang digambarkan. Seperti pada sajak WTC, Kuala Lumpur segala sesuatu terjadi pada saat sekarang (ketika berada di Kuala Lumpur) dan sebenarnya peristiwa yang paling penting adalah bahwa subjek lirik, karena pengaruh pengalaman ’kini’ yakni perjalanannya ke WTC, Kuala Lumpur membandingkan pada kondisi negerinya sendiri.
Dalam gambaran khayalan subjek lirik, ia juga membangkitkan situasi kontras antara Kuala Lumpur dengan segala fasilitas, kemegahan, dan perlindungan keamanan bagi warga sipilnya dengan kondisi yang jika dibandingkan maka tidak ada apa-apanya (bait kedua dan ketiga). Sajak dibangun berdasarkan perbandingan dua keadaaan. Situasi masa kini, atau situasi di Kuala Lumpur dapat dipandang sebagai penyebab timbulnya gambaran perbandingan. Sejak bait awal hal tersebut sudah digambarkan, kemudian dilukiskan lebih luas dalam bait ketiga.
Konstruksi ini menyebabkan terjadinya kisah perjalanan yang seakan-akan menjadi pokok pembicaraan sajak. Yang mencolok dalam ’kisah perjalanan’ ini adalah pada akhirnya subjek lirik menyadari bahwa kemajuan tekhnologi terkadang juga membawa dampak negatif terutama terhadap budaya masyarakat. Kesan ini tercipta pada kuplet terakhir........Mahancap aku turun kawal bakiaw/Kukiranangapa pina musti/Cis inya manyalaakan mancis/Jaharu manukar mancis nang ada gambar lightplaynya/Urang baanuan
Dalam pembacaan penulis, sajak-sajak Arsyad Indradi hadir sebagai perpaduan antara kemurungan dan pemberontakan. Suasana murung itu menjadi nada dasar yang sendu dari sebagian besar sajak dalam “Kalalatu”. Sementara pemberontakan dideklarasikan dalam bentuk perlawanan terhadap perwujudan yang banyak menghilangkan, bahkan menindas budaya lokal, terutama oleh budaya modern yang kontroversial dan membuat banyak manusia menjadi marjinal. Seperti Sajak “ Kahilangan Banua “....Sakilan kadada lagi tanah hagan bakubur/Mambalas kabaikan wayah dipukung/Banyu didih panyulam susu aruah mama/Diganali banyu laang//Tanah mana baganti rupa/Saalaman ragaibacampur cuka/Wayahini siapa aku siapa ikam/Banua tinggalam Dan pada sajak” Dundang Rista Saribhu Burung “...........Yulan ya lalalin/Hutan baratus tahun/Ditabang habis/Batubara dikikis/Hagan kasugihan tuantuan/Kami disipak/Ka padangpadang pangasingan/Tasingkir ka bukitbukit pamburuan
Penyair merasa miris melihat eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan alam secara tidak bertanggung jawab oleh pihak yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan pribadi. Dan pada sajak “Tampulu “ ....Ayuha dahulu/Wayah dipawayah kada balalawasan bataring/Mambulangkir banua/Tatah dipatatah kada balawasan bakuasa/
Mun sudah pajah dalam carita/Jangan bahiyau sanakkulawargaTidak selamanya yang miskin akan terus menderita dan yang kaya tak mesti selalu sejahtera. Begitu pula dengan kekuasaan yang menjadi kebanggaan seseorang atau kelompok, tidak selamanya akan bertahan. Dengan keyakinan bahwa roda kehidupan akan terus berputar, maka yang bisa dilakukan hanyalah pasrah. Segala daya upaya untuk menyatakan protes dan kekesalan terhadap keadaan itu hanya akan sia-sia karena hanya dianggap ’daun luruh’, atau sesuatu yang tidak diperdulikan keberadaannya. “ Daun Luruh “ Daun luruh/Di jalanan/Tajajak talincai urang lalulalang/Jaka hingkat bakuriak lawan siapa maminta tulung/Tapi inya daun/Sahibar daun/Daun
Bagaimana Kalalatu pada penggunaan Bahasa ? Bila dibandingkan dengan teks prosa atau drama, pada puisi cara pengungkapanlah yang jauh lebih penting. Kesepian dalam hening malam, rindu pada Tuhan, bunga yang cantik, semuanya itu pada sendirinya adalah pernyataan yang usang dan klise. Meskipun demikian, para penyair selalu berusaha menyajikan pernyataan yang usang itu dengan cara selalu baru, isi dan ungkapan terjalin erat.
Penggunaan bahasa ditandai oleh adanya kiasan dan berbagai gaya. Memang dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dalam puisi, kiasan dan bentuk gaya terdapat jumlah yang lebih besar daripada dalam penggunaan bahasa yang lain. Namun demikian, tidak mutlak itu harus merupakan bagian dari bahasa; ada penyair yang berusaha menjauhkan cara pengungkapan bahasa yang rumit. Hal ini pula yang tergambar dari puisi dalam antologi “Kalalatu” karya Arsyad Indradi.
Pada tataran bahasa puisi, Arsyad Indradi menjadikan puisinya begitu melodius, punya kekuatan ekspresif pada sajak, karena pengaruh pengulangan bunyi. Kita lihat sajak Mambangkit Batan Tarandam : Tarandam batang tarandam/Timbul tinggalam diarus banyu/Hilang jua di mata/Hilang jua di hati/Ingat kada jua diingat//Tarandam lawas tarandam/Tarandam lawas diarus banyu/Bangkitakanlah jua batang tarandam lawas/
Pusaka paninggalan urang bahari//Mambangkit batang tarandam lawas tarandam/Pusaka bahari nang lawas pang tarandam/Tabangkit jua batang tarandam tabangkit/Barakat kita gawi sabumi
Sajak ini menggunakan sederetan kata yang berawal dengan t, “Tarandam batang tarandam/ timbul tinggalam”. Banyak t dalam sajak ini memberi kesan berat yang menunjang makna kedua larik terakhir. Tabangkit jua batang tarandam tabangkit/ barakat kita gawi sabumi. Bukan tidak sengaja penyair memilih “Mambangkit Batang Tarandam” sebagai judul. Kata ’batang tarandam’ muncul berulang sebanyak sembilan kali pada keseluruhan sajak ini. Kenyataan bahwa “Batang Tarandam” ini memiliki makna simbolik serta sifat-sifat yang dihubungkan kepadanya. ’batang’ ini dimanfaatkan untuk mendukung kesan berat. Diperlukan usaha keras untuk bisa membangkit dan mengangkat ’batang’ yang disatukan dengan kata ’tarandam’ membuat eksplisit makna yang ingin disampaikan.
Dalam bahasa puisi selalu terjadi interaksi terus-menerus antara keterikatan dan kebebasan, antara ketentuan dan pembaharuan, antara tata bahasa dan praktik bahasa.
Akan kita lihat bahwa seorang penyair bisa saja membebaskan ikatan antara kata dan apa yang hendak ditandai oleh kata tersebut. Hal ini dilakukan untuk menerobos makna yang lama dan menciptakan makna yang baru. Cara yang ditempuh adalah melalui penggunaan metafor. Metafor tercipta karena sebuah kata yang secara konvensional tak dapat dihubungkan dengan perkataan lainnya, justru dihubungkan untuk melakukan penyimpangan yang disengaja. Sebagai contoh, kata ’pandir’ secara konvensional merupakan atribut untuk menunjukkan yang kita dengar berupa ucapan. Akan tetapi, Arsyad Indradi dalam sebuah sajaknya dengan kreatif menunjukkan bahwa kata ’pandir’ menjadi atribut yang tidak hanya dari apa yang bisa didengar tetapi juga apa yang kita makan/ masukkan. Seperti puisinya Miang : Miang kajijingah/Miang tahayut kulipak paring/Miang tapalit jalatang/Miang takana hulat bulu/Masih kada sabarapa/Tapi mun miang/Tamakan pandir/Bakiruh tipang sabukuan awak
Penyair, berbeda dengan pemakai bahasa lainnya, menghadapi bahasa dan kata-kata tidak pertama-tama sebagai alat yang siap pakai, tetapi sebagai bahan atau material yang masih harus dikerjakan dan diolah.
Penyair membicarakan kegelisahan. Tema yang abstrak ini dikonkretkan dengan kata ’miang’. ’Miang’ yang secara harfiah berarti gatal, digunakan berulang-ulang. Citra yang digunakan untuk ’miang’ ini sangat cocok dalam sajak tersebut, terutama sehubungan dengan tema yang begitu penting bagi sajak, yaitu kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan. Dampak pencitraan terutama diperoleh karena perincian keempat pembanding yang memiliki makna serupa (makna sebenarnya, seperti kajijingahan, tahayut kulipak paring, tapalit jalatang, takana hulat bulu). Dengan demikian warna motif yang negatif ditekankan. Akan tetapi, larik berikutnya berbunyi Masih kada sabarapa/Tapi mun miang /Tamakan pandir/Bakiruh tipang sabukuan awak
Larik tersebut memasukkan kata ’tetapi’ membangkitkan suatu penekanan lebih pada larik berikutnya, mun miang/ tamakan pandir/ bakiruh tipang sabukuan awak. Kata ’miang’ disandingkan dengan kata ’tamakan pandir’ (termakan omongan) dua acuan yang sama sekali tidak ada hubungannya secara logis. Akan tetapi kata ’miang’ (gatal) tepat untuk menggambarkan kondisi yang tidak mengenakkan yang jika seseorang mengalami maka akan menyebabkan gelisah dan tidak bisa tidur.
Terlihat di sini bagaimana metafor dipergunakan untuk memainkan pengertian pandir. ’Pandir’ yang berarti kata-kata atau lebih tepatnya omongan, disandingkan dengan kata ’termakan’. Tentu saja ini tidak bisa dimaknai secara harfiah, karena kata-kata bukan sesuatu yang bisa dimakan. Namun, berdasarkan konteksnya, ’tamakan pandir’ atau termakan omongan dapat diterjemahkan. ’Tamakan’ (termakan) menjadi kata singkat yang bisa mengungkap penjelasan panjang. Pemilihan kata ’tamakan’ terkait dengan pengertian bahwa makan memerlukan suatu proses. Menggigit, mengunyah, lalu menelan. Sedangkan kata ’tamakan’ menyatakan perbuatan yang tidak diinginkan, mengandung unsur ketidaksengajaan, tidak melalui proses, atau secara langsung dilakukan. Bahwa omongan atau kata-kata tidak hanya sekedar informasi yang lewat, didengarkan kemudian ditelan. Informasi itu harus diklarifikasi kebenarannya agar tidak hanya menjadi sekedar desas-desus ataupun gosip yang meresahkan.
Struktur kalimat juga mendukung oposisi makna keseluruhan sajak. Mula-mula kita baca pada larik pertama hingga larik keempat ’miang’ menjadi pembuka kalimat. Tekanan pada kata ’miang’ penyair mencoba menunjukkan tekanan perasaan gelisah dengan mengubah penempatan kata ’miang’ di akhir kalimat. Kemudian diakhiri dengan “bakiruh tipang sabukuan awak” . “Tamakan pandir” (termakan omongan) yang menyebabkan desas desus tanpa klarifikasi kebenaran dikatakan jauh lebih tidak mengenakkan.
Kebebasan penyair atau licentia poetica adalah semacam lisensi khusus yang memberikan hak kepada para penyair untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam bahasa untuk memperbarui bahasa. Penyimpangan tersebut dapat dilakukan dalam bunyi bahasa untuk menciptakan efek fonetik bagi irama atau rima yang dikehendaki. Penyimpangan dapat pula dilakukan dalam makna bahasa, khususnya melalui teknik metafor, dimana dua kata dengan makna yang tidak bisa dipertautkan, digabungkan untuk menelurkan makna baru. Usaha pemaknaan baru ini dapat dilakukan juga dengan mengubah status sebuah kata sebagai kata benda menjadi kata kerja, atau kata sifat, dan sebaliknya. Selain itu, penyimpangan dapat dilakukan dengan mengubah bentuk kata, dengan menerapkan cara penulisan yang tidak sesuai dengan ejaan yang baku.
Penyimpangan bentuk kata berupa pemberontakan terhadap ejaan ini juga dilakukan dengan konsisten oleh Arsyad Indradi. Sekalipun secara semantik dan secara fonetik dia tetap konvensional, dalam arti tidak memasukkan bunyi-bunyi atau kata-kata yang tidak dikenal ke dalam sajak-sajaknya.
Ada beberapa penyimpangan yang dilakukannya. Diantaranya adalah menuliskan kata ulang tanpa tanda sambung. Dalam sajak “Di Pancung Lanting” peneliti menemukan bentuk-bentuk seperti: sahamahama, saricihricih, kilirkiliran, taruhuiruhui, ilungilung, dan baapikapik. Penyair juga menggabungkan dua kata yang seharusnya ditulis terpisah. Dalam sajak “Zikir Balarut” dapat ditemui bentuk-bentuk seperti: likatbaburih, manapungtawari, baraskuning, tanahbanyu, duitpacah, dan bauntungbatuah. Dalam sajak “Sarai Sarapun” peneliti menemukan bentuk seperti: sakikihduakikih, dan ampatpuluhsatu, yang semestinya ditulis: sakikih dua kikih, dan ampat puluh satu.
Penyimpangan ejaan yang demikian, tentulah bukan ketidaksengajaan, atau kebetulan. Patut diingat bahwa huruf dan kata-kata tertulis adalah tanda untuk bunyi bahasa. Seorang penyair dapat memilih untuk melakukan manipulasi komponen tersebut.
Dalam sajak “Membangkit Batang Tarandam” tampak bentuknya yakni sajak terbagi menjadi menjadi tiga bait. Dapat dilihat bahwa pembagian ini ada kaitannya dengan kisah dan usaha untuk melestarikan Budaya Banjar atau yang diumpamakan sebagai “Mambangkit batang tarandam”. Prosesnya digambarkan sejak bait pertama hingga yang terakhir. Bait pertama memaparkan bahwa Budaya Banjar telah hampir dilupakan. Bait kedua, timbul semangat untuk menghimbau masyarakat untuk mempertahankan kekayaan peninggalan orang tua terdahulu. Bait terakhir, patut dirayakan karena berkat kerjasama seluruh elemen masyarakat budaya ini tentu bisa dibangkitkan kembali.
Bentuk sajak dalam antologi ini tidak terlalu menonjol. Akan tetapi dapat dikatakan penyair memastikan bahwa jumlah bait atau bentuk paragraf dalam sajak-sajaknya mendukung isi atau makna keseluruhan sajak. Seperti dalam sajak berikut ini
Marasa Maka Tahu : .... Asa ganting paparutan napangai panurihan sunyi/Gatah tiis kada bagatah paluh nang diparah/Napang marasa maka tahu/Batis kulipak tungkulan baambah di padang banta/Marajah pahumaan lawas pang taung/Lawas marajah pagat janji basambung pagat pulang/Marajah di hati napang/Manunjul jukung, jukung tapahalang
Manajak kupiah, kupiah tapahalang/Marasa maka tahu/Kikicaktu wadai gayam mata picak dipatuk hayam//Ari kalayang ari/Cagat mata tunduktingadah/Balangsar mahalimpaur/Sakalinya tahadangi buah bungur
Sajak “Marasa Maka Tahu” hanya terdiri dari dua bait. Bait pertama sebanyak 32 larik yang secara visual lebih panjang jika dibandingkan dengan bait kedua yang hanya 4 baris. Pembagian bait ini juga ada kaitannya untuk mendukung makna atau apa yang diceritakan dalam sajak. Bait yang panjang bercerita tentang penantian panjang seseorang akan perubahan nasibnya yang boleh dikatakan tidak beruntung. Bahkan harapannya agar orang yang kondisinya lebih baik tidak menutup mata akan keadaan itupun sia-sia. Penantian panjangnya itu diakhiri singkat oleh bait kedua puisi terutama larik terakhir sakalinya tahadangi buah bungur merupakan ungkapan yang berarti sesuatu yang percuma saja ditunggu. Salam sastra *****

Banjarbaru, 17 Desember 2008

( Esai ini telah saya angkat dalam bentuk skripsi saya untuk menyelesaikan S 1 FKIP Bahasa Indonesia dan Sastra UNLAM, 2008 )