Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila

Salam sastra,

Rencana awal adalah membukukan esai/artikel mengenai Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan sebagai buku pendamping antologi tersebut, namun naskah yang tersedia minim sekali maka timbul pemikiran agar rencana pembukuan tetap dilaksanakan, akhirnya esai yang ada ditambah beberapa esai lainnya yang isinya berhubungan dengan saya lalu saya terbitkan menjadi buku kumpulan esai “ Risalah Penyair Gila “ ini. Esai mengenai Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan saya muat di antologi tersebut sebagai epilog untuk cetakan yang kedua. Saya tak dapat membalas kebaikan dan solidaritas teman – teman atas esai – esai tersebut buat saya, selain mengucapkan terima kasih. Semoga Tuhan yang akan membalaskannya. Amin. Buku kumpulan esai ini adalah sebagai kenang – kenang ultah saya yang ke – 59, 31 Desember 2008.

Banjarbaru, 31 Desember 2008

Arsyad Indradi



Sabtu, 01 Mei 2010

Tragika Karya Sastra Urang Banjar



Oleh : Setia Budhi

Siapa yang mampu melawan ketangguhan penulis cerita rakyat banjar yang produktif seperti Syamsiar Seman ? Dan siapa pula yang berani menantang kegilaan seorang Arsyad Indradi ? Dan seorang lagi sastrawan yang paling nekad, Jamaluddin “ Galuh “ ? Dan saya ingin mendiskusikan perihal tiga orang sakti itu dalam esai, yang biarkan kita beri saja permulaan katanya dengan Allahu Rabbi Sastra Banjar.

Benarkah bahwa karya sastra yang tidak pernah dipublikasikan dapat disebut karya sastra ? Benarkah seribu kumpulan puisi yang masih tersimpan rapi di bawah lacipenulisnya belum dapat disebut karya sastra sebelum karya itu dipublikasikan ? Benarkah sebait syair yang tersimpan di bawah bantal penulisnya belum menjaci karya sastra sebelum syair itu dibacakan ke tengah orang ramai ?

Dalam ruang ini tak usah diperdebatkan apa itu sastra Banjar. Sebab masih banyak lagi sastra-sastra lain yang antre dibaca dan dipahami. Tak perlu risau ada apakah dengan sastra Dayak, sastra Pahuluan, sastra Urang Alabio atau sastra Urang Martapura, atau sastra Urang Unlam, syair Bubuhan IAIN, sastra Bubuhan Banjarbaru, sastra Oloh Bakumpai, puisi Dayak Iban, puisi mantra Dayak Meratus, atau sastra Orang Eropa Timur atau sastra Tiongkok. Sebab yang penting bagiku adalah keagungan sebuah karya. Yang terpenting adalah kemuliaan mereka-mereka yang berkarya.

Tetapi ada masalah besar yang menghantui para penggeiat sastra di daerah ini. Dan kalaulah saya tidak salah menduga, bahwa hantu-hantu yang memerangkap kekaryaan para sastrawan itu adalah soal publikasi dan niat baik lembaga-lembaga publikasi untuk karya sastra Kqalimantan Selatan.

Belajar pada tiga orang sakti

Masuklah ke toko - toko buku yang ada di Banjarmasin dan Banjarbaru. Anda paling tidak, atau kalau tidak kehabisan stok barang, akan sangat mudah mendapatkan buku – buku cerita yang dikarang oleh Syamsiar Seman. Karya – karya yang biasanya kisah dari orang – orang Banjar itu, walaupun dicetak dengan “tri warna” hitam, putih, kuning pada sampulmuka, menunju8kkan sebuah publikasi yang sederhana sepertinya cocok dengan kesederhanaan penulisnya.

Dari manakah Syamsiar Seman mendapatkan amunisi untuk menerbitkan buku-buku yang sebagian telah dipergunakan sebagai “muatan lokal” itu ? Kalaupun buku-buku seperti Gerilya Hasan Basri nampak dicetak secara murah, tetapi isi buku itu nampak bertengger dengan ruang yang kecil di antara buku-buku besar ruang perpustakaan atau toko buku. Seperti juga Syamsiar Seman, untuk kasus Asal Mula Urang Banjar yang dikarang oleh Tajuddin Noor, nampak pula kebersahajaan karya ini apabila apabila dipersandingkan dengan karya-karya sejenis.

Orang sakti kedua adalah Jamal “Batu Ampar” Suryanata, dalam karya yang cukup monumental kumpulan cerita pendek bahasa Banjar “Galuh”. Kumpulan cerita pendek yang pernah dimuat di harian Radar Banjarmasin ini, sungguh beruntung nasibnya sebab pihak management koran Radar Banjarmasin”terpanggil” dan merasa peduli dengan karya sastra ini. Buku kumpulan cerpen bahasa Banjar ini pula kemudian mengisi kekosongan buku-buku dari hasil karya urang Banua bahkan bisa “mejeng” di toko buku ternama di kota Banjarmasin.

Orang sakti semacam Jamal mungkin mempunyai keberuntungan sendiri sebab karya sastranya itu telah mendapat tempat di hati publik dan meminat sastra di daerah ini. Tetapi masalahnya adalah kalau tidak karena Radar Banjarmasin, maka seperti yang nampak belakangan, kita belum menemukan publikasi serupa “Galuh”. Oleh sebab itu, sebenarnyapeminat sastra masih merindui terbitnya Galuh-Galuh yang lain. Dimanakah kesusahan itu bersemayam, manakala “tangan kuasa” tak lagi berpihak pada penerbitan karya-karya sastra itu.

Dengan menghabiskan dua buah printer canon, empat lusin tinta printer dan puluhan rim kertas A4, telah mematangkan orang sakti ketiga, yaitu Arsyad Indradi. Bersyukurlah saya sempat beberapa kali menyaksikan bagaimana ingar bingar ruang tamu yang berantakan oleh buku dan bunyi mesin printer di rumah Arsyad Indradi ketika ingin memasukkan janin ke rahim puisi, menunggunya dan melahirkannya sendiri tanpa bantuan oleh “bidan” siapapun juga. Maka lahirlah Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan.

Kalauipun kita susah sungguh untuk mendapatkan buku kumpulan puisi Arsyad Indradi di toko-tokobuku ataupun perpustakaan sebagai bahan bacaan sastra atau kajian sastra, buku kumpulan puisi yang dengan edisi terbatas itu telah pula “menggema” sampai negeri-negeri Lampung dan Riau di Sumatera atau paling tidak ke negeri sastrawan yang masuk dalam kumpulan puisi itu.

Tragika Ajamuddin Tifani

Kalaulah tidak ada ketulusan dari tiga orang “pendekar” sastra di kota Banjarmasin seperti YS Agus Suseno, Micky Hidayat dan Maman S Tawie, karya-karya puisi Ajamuddin Tifani Insya Allah masih berserakan dimana-mana dan tak ketahuan rimbanya pula. Kalau kemudian karya sastra itu masuk perangkap dan diterbitkan oleh orang lain, begitulah nasib kita. Kalaupun penerbitan itu pada akhirnya dikatakan sebagai “tak berperikemanuisaan” karena lebih menonjolkan pihak penerbit, maka begitulah nasib karya sastra Urang Banua.

Tetapi ketika ada keinginan agar karya sastra tidak terbit dengan menghancurleburkan rasa estetika, maka marilah kita meradang pada nasib sendiri mengapa kumpulan karya sastra atau puisi itu jatuh ke tangan para pedagang ? Saya memalingkan muka dan tersenyum gembira dengan Arsyad Indradi, tersebab buku kumpulan puisinya itu tidak hendak “dicoreng moreng” dengan berbagai iklan sabun colek, maka biarlah diterbitkan sendiri.

Sambil membetulkan letaki topinya, Arsyad Indradi berkata , “Tuntas sudah gawian mangayuh jukung saurang.”

Sambil menoleh kiri kanan aku berkata, “Iya am maraga Gadis Dayak, tajual pahumaan”. Maksudku menoleh kiri kanan, supaya memastikan tiada orang lain yang mendengar perbincangan soal berapa biaya untuk menghabiskan sebuah buku karya sastra.

Kalaulah kumpulan puisi Ajamuddin Tifani sebagai sebuah tragika, maka saya mengusulkan marilah kita terbitkan untuk edisi cetak ulang yang tentu saja dengan penerbit lain yang memahami empat lima ribu makna estetika penerbitan sebuah karya sastra.

Tetapi adalah akan lebih penting lagi, bagaimana kumpulan puisi Ajamuddin Tifani yang masih berserakandengan tulisan tangan, tulisan spidol atau pinsil pada kertas buram atau kertas-kertas lain itu dapat diselamatkan oleh pihak keluarganya. Tiada jarang hasil karya sastra besar tak menghasilkan apa-apa untuk sebuah jerih payahnya. Sudah waktunya berpikir dengan rasio berapa banyak buku itu dipakai oleh publik melalui toko buku dan bagaimana pula royalti yang dihasilkan dari pencetaknya.

Menunggu Rembulan

Lima tahun yang lalu, ketika Micky6 Hidayat melontarkan keinginan mendirikan semacam “Pustaka Hijaz Yamani”, ini adalah gagasan yang perlu mendapat sokongan banyak pihak. Paling tidak tatkala sang maestro telah pergi menemui Sang Maha Karya, kita masih dapat menikmati karya sastra melalui pembacaan karyanya. Dan pada waktunya kelak rembulan akan terbit di kaki langit sastra karya-karya sastrawan lainnya di Kalimantan Selatan.***

Depok, Ramadan 2007

Dimuat di Radar Banjarmasin, Minggu 7 Oktober 2007

Sebuah Nukilan dari : Sembilan Cakrawala Satu Kilang.



Oleh : Ajamuddin Tifani

Catatan dari Antologi Cakrawala , Kumpulan puisi penyair Banjarbaru. Salah satunya : Arsyad Indradi.
………………………………………………………………………….
Ketika beragam penciptaan dalam puisi sudah melibur pasang dalam bangunan sastra kita, dan ketika puisi-puisi, dan seluruh perangkai dalam dunia penciptaan ini demikian banyak ragamnya, dan eksplorasi kata demikian mengagumkan pekembangannya, maka masihkah puisi ditulis orang ?
Jangan kuatir, puisi masih ditulis. Puisi masih didendangkan. Puisi masih dapat menyusupi batin kita, sebab kita masih membaca kitab-kitab suci. Kita tahu kitab-kitab suci itu mengemban pesan-pesan puitikal, dengan puisi itu sendiri sebagai sarana penyampaian.
Dan Arsyad Indradi menyadari akan hal itu. Ia menulis tanpa ampun. Hampir seluruh pernik perasaannya tentang puisi. Ia sesungguhnya penyair, sebelum ia menjadi penari tahun 70-an awal. Ia bukan saja mengekspore hampir seluruh gerak perasaannya, akan tetapi mengabadikannya dalam berbagai kumpulan puisi bersama.
Sungguh, sajak-sajak Arsyad Indradi ini banyak. Barangkali ia menyimpan, bukan Cuma sajak-sajaknya, tapi juga karya-karya sastra lainnya cerpen,esai, dan ini yang aku tahu dulu, tapi calon atau embryo novel. Dulu dipajangnya, di bawah tilamnya itulah imbuhan karya-karya sastranya. Semoga ia tidak melakukan hal-hal yang mulia itu lagi.
Dalam dunia penciptaan puisi Arsyad Indradi salah seorang senior ( kalau ukuran senioritas tidk mengganggu dunia penciptaan itu sendiri ), sesungguhnya ia mulai itu jauh sebelum ia terjun dalam tari, musik, dan lukis. Banyak orang kurang mengenal penyair yang juga kreografer tari, musikus, dan pelukis ini. Sayangnya, kita tidak membicarakan pluraitas penciptaan. Ini saja sudah cukup menempatkan posisi kita yang tak kurang rumitnya membicarakan liku-liku dunia penciptaan.
Menyimak sajak-sajak Arsyad Indradi, berarti kita menyimak kabar kemanusiaan yang hanya merupakan sketsa hitam putih, tapi, kita merasakannya hingga ketulang-tulang sum-sum. Dan tragedi ini tidak dimulai dengan fenomena kemanusiaan itu sendiri dalam sajak-sajaknya. Lalu, muncullah ramuan yang khas Arsyad.
Bahwa peranan Harfiah yang menyatu dengan pemahaman tragedi kemanusiaan itu sendiri menjadi bagian yang berada dalam sajak-sajak Arsyad. Disini, perlu kiranya kita memahami posisi manusia dengan kebebasannya, bukanlah berarti sudah selesai dengan takdirnya, bukanlah manusia bebas memilih nasibnya. Ini bisa juga terjadi sebaliknya. Manusia senantiasa menjadi tegang dalamm hubungan dengan takdir. Takdir yang berada di hadapan manusia adlah sebuah situasi.
Manusia yang berada disebelah sini, adalah bagian yang eksternal dari tujuan perjalanan nasibnya sekaligus juga yang menentukan. Bentuk serta isi takdir dibhadapannya, keduanya adalah suatu eksistensi. Dan eksistensi ini menentukan keberadaannya sebagai manusia.
Dan narasi puisi Arsyad menglegimasikan situasi yang tegang sepertin itu, bahwa manusia tak sebebasnya dapat memilih takdirnya masih ada nasib dan nasib pun tak bisa diberi warna sekenanya oleh manusia. Dan manusia menentukan “ketidakmudahannya”. Karena, di atas semuanya itu, masih ada yang Amat Terhormat Tuhan ! Allah SWT.
Lalu,
Impian yang digantungkan pada diri bergetar dalam bayangbayang/disudutsudut ruang yang gelisah dan memaya ujudnya /tapi terasa menyentaknyentak tak henti/membiarkan rinduku menggelepar pada sayapsayap luka/dalam perjalanan
( cakrawala 99 B.Baru )
Kalau harfiah dari “Tarigh” semakna dengan “jalan” maka, bukan ketersesatan namanya jika ia belum menemukan hakikat “jalan”. Pencarian barangkali bisa demikian panjang. Panjang pendek sebuah perjalanan adalah soal waktu. Tapi, waktu bukanlah yang terperih dari upaya mencari makna. Namun “rindu” itulah.
Seluka apa pun “rindu” tetaplah bagian dari perjalanan ini. Dan perjalanan ini sendiri adalah perjalanan batin yang termaktub dalam syariat,tharikat,hakikat,ma’rifat. Pejalan ini penuh luka pada sayapsayap luka dalam perjalanan. Perjalanan ini menggeleparkan rindu. Membiarkan rinduku menggelepar.. Dan siapa gerangan yang dirindu ? Yang memaya ujudnya tapi terasa ? yang menyentaknyentak tak henti ?
Dan yang ada pada perigi berair bening, tempat musafir yang berada dalam perjalan melepas dahaga. Lenyap sang perigi, karena musafir berlupa. Rindu musafir dalam dahaga : perigi … perigi …dikau dimana ? Ah, bukan Cuma musafir. Tapi perigi pun berseru “Musafir ,Musafir … aku di sini, aku disini … dan …
Bila sudah tidak jingga lagi dedaunan
Dan bayangpun fana
Aku merasa di sini, sebab
Antara kita tak pernah ada sangsi
(Pada Sebuah Taman-Cakrawala 99 B.Baru)
Bila pun kita ingin berandai-andai, maka tetua-tetua kita sering menggambarkan hidup, hidup ini laksana pohon. Dan tiap-tiap pohon, mengingatkan kita pada daun dan daun-daun mempunyai kisahnya sendiri.
Seorang sufi akan mengucapkan “Wa’alaikum salam”, manakala ia menyaksikan ada sehelai daun gugur, setelah ia menemukann pula ranting tempat si daun gugur, setelah ia menemukan pula ranting tempat si daun bergantung demikian ikhlas melepas “perjalanan” daun yang sudah total menguning kecoklatan, dan tidak lagi berwarna jingga kan pergi kemanakah sang pohon ? Ya akan tetap tegak di situ. Penyaksi bagi tangan-tangan yang Maha lembut menenun jaringan benang-benang waktu
Dan sang penyair pun berkata lirih :
Jika aku lahir kembali
Isyaratkan dimana riak
Menyimpan mimpi
( Suatu Telaga Akhir Tahun, Cakrawala 199/2000B.Baru )
Bak Khairil yang merintih :
Ada tanganku sekali akan jemu terkulai
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut
Ada suara yang kucintai kan berhenti membelai
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut
(dari Catatan 1946 )
………………………………………………………..
Salam sastra
Banjarmasin, 8 Juni 2001

Laman Penyair Gila: Perpaduan Teknologi dan Keindahan Kata



Mahmud Jauhari Ali

Pernahkah Anda mengunjungi sebuah laman berisi sejumlah pengetahuan tentang jagad alam sastra, khusunya puisi dengan rangkaian diksi yang menawan hati kita untuk membacanya? Mungkin di antara kita pernah menemukan laman-laman yang saya maksud itu. Kemudian kita unduh bagian-bagian penting dari laman tersebut untuk keperluan hidup kita. Bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra misalnya, tentulah untuk keperluan tugas-tugas kuliah dan penyusunan skirpsi atau hanya untuk memuaskan batin guna memperkaya jiwa mereka. Mungkin pula sebagian dari kita tidak pernah menemukan laman-laman tersebut. Bahkan, mungkin masih ada saudara-saudara kita yang sama sekali tidak mengenal internet atau dunia maya sehingga mereka tidak pernah pula mengunjungi satu laman pun. Hal terakhir tadi dapat kita maklumi karena teknologi internet belum merata di Indonesia. Bisa juga karena mereka enggan bergelut dalam dunia yang satu itu. Ya, mereka lebih suka membaca buku-buku karangan pakar-pakar ternama di bidang mereka masing-masing daripada menjelajah dunia lewat internet. Namun, saya yakin sebagian orang yang bergelut dalam dunia kata, terutama puisi pernah mendapatkan pencerahan dari laman yang berisi seperti yang saya sebutkan di atas.
Masih berkenaan dengan dunia maya dan dunia sastra, suatu ketika saya pernah berada di sebuah warung internet. Niat saya dari rumah adalah mengunjungi sebuah laman seseorang yang menurut cerita di masyarakat Kalimantan Selatan, seseorang itu telah sangat jatuh cinta dengan teknologi yang satu ini dan dunia kepenyairan. Jujur, saat itu saya penasaran seperti apa wujud laman tersebut. Setelah saya tekan tombol masuk, betapa terkejutnya saya melihat sebuah tampilan yang menggiurkan pandangan saya untuk tidak lepas darinya. Ya, sebuah laman cantik dan memesona telah ada di hadapan saya. Ini adalah salah satu tanda-tanda kebesaran-Nya. Laman ini berjudul Penyair Nusantara dengan desain grafis yang disusun rapi oleh pengelolanya. Setelah saya telusuri lebih jauh, ternyata masih ada tiga buah laman utama lagi milik seseorang yang notabene adalah seorang penyair kenamaan asal Kalimantan Selatan bernama Arsyad Indradi.
Di alam sastra Kalimantan Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, Arsyad Indradi dikenal sebagai ”penyair gila” karena kegilaannya dalam dunia sastra. Sebuah kegilaan yang menurut saya merupakan bentuk kepedulian seorang sastrawan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai usaha merekatkan hubungan antarsastrawan di tanah air. Sempat pada tahun 2005 ia menjual tanahnya hanya untuk membuat buku antologi penyair nusantara yang memuat 142 penyair dengan 426 puisi yang hasilnya ia bagikan gratis di seluruh nusantara. Lima belas juta rupiah habis untuk pembuatan buku tersebut. Bahkan, dia pulalah sendiri yang menyusun, membuat kover, hingga mengedarkan buku-buku tersebut. Lebih daripada itu, saya menangkap ada niat suci dalam diri penyair yang satu ini melalui dunia kepenyairannya, yakni untuk kemanusiaan dan keagungan Tuhan.
Adapun keempat laman utama milik lelaki kelahiran Barabai, Kalimantan Selatan tanggal 31 Desember 1949 ini adalah sebagai berikut.
Penyair Nusantara, merupakan salah satu judul laman dari sekian banyak laman yang ada di Indonesia yang beralamat di www.penyairnusantara.blogspot.com. Dengan anak judul Hidup Bukanlah Sewaktu Mati dan Mati Sewaktu Hidup, laman ini menjadi tampil lebih mantap dan menawan dari segi judul. Saat kita mulai memasuki laman ini, kita disapa oleh perancang sekaligus pemiliknya dengan kata-kata, yakni selamat datang, salam sastra, ucapan terima kasih atas kunjungan kita, dan selamat bergabung di laman ini. Jika kita memasuki lebih dalam lagi, nuansa kepenyairan dalam laman ini semakin terasa.
Isi yang paling menonjol dalam Penyair Nusantara: Hidup Bukanlah Sewaktu Mati dan Mati Sewaktu Hidup ini adalah biodata para penyair nusantara dan karya-karya mereka di sejumlah besar provinsi yang ada di Indonesia. Terdapat dua puluh sembilan provinsi dimuat dalam daftar menu penyair nusantara ini oleh Arsyad Indradi. Di setiap menu provinsi yang dimuat tersebut, kita dapat menemukan biodata para penyair dan karya-karya mereka di provinsi yang bersangkutan. Karena itu, silakan Anda masuki setiap menu tersebut. Hal ini dapat kita maklumi karena memang pada dasarnya Penyair Nusantara dibuat oleh Arsyad Indradi untuk menampung dan menampilkan biodata dan karya-karya para penyair se-Indonesia dalam bentuk pendokumentasian dan juga sebagai ajang untuk merekatkan tali-temali persaudaraan penyair se-Nusantara.
Tentunya ajang tersebut bukan hanya khusus untuk kalangan penyair, tetapi juga untuk siapa saja yang berminat terhadap dunia kepenyairan. Dengan demikian, Penyair Nusantara juga dapat merekatkan tali-temali persaudaraan seluruh masyarakat nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan mengunjungi Penyair Nusantara, kita dengan mudah mengetahui nama-nama penyair di Indonesia dan karya-karya mereka. Hal ini tentulah sangat membantu para peneliti, pelajar, mahasiswa, penggiat sastra, dan para penikmat sastra. Selain itu, dalam Penyair Nusantara kita juga dapat melihat foto-foto kegiatan sastra dan gambar sampul depan buku-buku antologi sastra. Foto-foto itu seperti foto-foto beberapa penyair nasional dalam Seminar Sastra Internasional di TIM Jakarta 14—19 Juli 2007, saat berlangsungnya Aruh Sastra IV di Amuntai 14—16 Desember 2007, dan saat Acara Kongres KSI 1 Di Kudus 19 - 21 Januari 2008. Beberapa gambar sampul depan buku antologi sastra itu, yakni Antologi Penyair Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan, antologi puisi Narasi Musafir Gila, antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, antologi puisi Romansa Setangkai Bunga, dan antologi puisi Bahasa Banjar KALALATU.
Penyair Kalimantan Selatan, merupakan sebuah laman tersendiri di luar laman Penyair Nusantara yang memuat biodata lengkap para penyair di setiap kabupaten dan kotamadya di Kalimantan Selatan beserta karya-karya mereka. Kita dapat menemukan laman ini di alamat www.penyair-kalsel.blogspot.com. Jika Anda menginginkan pengetahuan berkenaan dengan data-data sastrawan Kalimantan Selatan dan karya-karya mereka, buka saja laman yang satu ini. Selain itu, dalam laman ini juga memuat hal-hal tentang papandiran (obrolan bahasa Banjar), balalah (Berjalan), ramak rampu ( beragam,aneka), album antologi puisi bahasa Banjar Kalalatu, album 142 Penyair Menuju Bulan, album antologi puisi Musafir Gila, album antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, album puisi-puisi cinta Romansa Setangkai Bunga, berita-berita, esai-artikel, dan foto kegiatan sastra.
Sastra Banjar, merupakan laman tersendiri di luar dua laman di atas yang memuat sastra daerah Banjar. Laman Sastra Banjar antara lain memuat sastra Banjar dalam esai, kamus bahasa Banjar kuala, mantra Banjar, polemik sastra Banjar, aruh sastra, sastra daerah Banjar, khazanah makna bahasa Banjar, dan tata bahasa Banjar.
Arsyad Indradi, laman yang satu ini merupakan laman yang menyagkut hal ikhwal tentang Arsyad Indradi dan karya-karyanya. Daftar Muatan Isi Arsyad Indradi
antara lain adalah biodata Arsyad Indradi, antologi puisi Anggur Duka, antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, antologi puisi Narasi Musafir Gila, antologi puisi Romansa Setangkai Bunga, dan antologi puisi Kalalatu.
Apa yang dapat kita tangkap dari keempat laman utama penyair gila ini? Ada dua hal yang paling menonjol, yakni memanfaatkan laman untuk kemajuan dunia sastra di Kalsel dan menunjukkan bahwa puisi bukanlah hasil dari kegiatan melamun atau menghayal yang sia-sia belaka.
Arsyad Indradi benar-benar berhasil memanfaatkan laman di dunia maya dalam memublikasikan pengetahuan sastra, khususnya puisi kepada masyarakat luas. Dengan laman-laman tersebut, Arsyad Indradi bukan hanya bersastra dalam lingkup Kalimantan Selatan, tetapi ke seluruh penjuru kota dan desa di dunia. Pemublikasian seperti itu akan dapat memajukan dunia sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia pada umumnya. Mengapa demikian? Karena dengan pemublikasian tersebut, masyarakat di Kalimantan Selatan dan provinsi lain akan mendapatkan pengetahuan sastra sehingga mereka mampu mengapresiasi, menilai, bahkan membuat puisi sendiri. Selain itu, dengan pemublikasian tersebut, orang-orang dari luar negara kita akan mengetahui keberadaan dan mutu sastra di negara ini.
Laman penyair gila yang secara garis besar berjumlah empat buah ini, masing-masingnya merupakan laman induk. Masing-masing laman induk tersebut memiliki sublaman yang jumlahnya tidaklah sedikit. Dalam laman Penyair Nusantara memiliki sublaman bejumlah 31 buah, laman Penyair Kalimantan Selatan memiliki sublaman sebanyak 24 buah, laman Sastra Banjar memiliki sublaman sebanyak 16 buah, dan 10 buah sublaman dari laman Arsyad Indradi. Jika kita jumlahkan semuanya laman tersebut, jumlahnya menjadi 85 buah laman. Jumlah ini membuktikan bahwa Arsyad Indradi tidak sedang bermain-main dalam sastra, melainkan sangat serius dalam hal itu sehingga ia harus menggunakan banyak laman. Dalam hal ini, ia sungguh-sungguh ingin menyampaikan sebuah kenyataan bahwa penyair bukanlah seorang pelamun atau penghayal. Ia ingin menyadarkan masyarakat luas bahwa penyair adalah insan-insan yang jujur menyuarakan jiwa mereka untuk kemanusiaan dan keagungan Tuhan. Oleh karena itulah, puisi bukan semata goresan pena biasa. Puisi pantas dibaca, diapresiasi, diperbincangkan di bangku-bangku kuliah, dianalisis, hingga dilestarikan dalam bentuk perbuatannya di alam perkembangan jagad sastra mana pun. Keberadaan laman-laman Arsyad Indradi tersebut, pada kenyataannya telah meramaikan alam sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia pada umumnya dalam perkembangan sastra mutakhir saat ini.
Menutup tulisan yang teramat singkat dan sederhana ini, marilah kita pandang puisi dan genre sastra lainnya sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup kita. Janganlah kita memandang karya sastra termasuk puisi dengan sebelah mata karena dengan sebelah mata saja, kita tidak akan dapat menggapai makna puisi terdalam yang dikandung oleh kata-kata yang indah dan memesona. Marilah pula kita manfaatkan fasilitas internet, khususnya laman untuk memajukan kehidupan sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia. Bagaimana menurut Anda?


Mahmud Jauhari Ali

Lahir di Banjarmasin, 15 Januari 1982. Artikel, puisi, dan cerpennya dimuat di SKH Banjarmasin Post, SKH Radar Banjarmasin, Tabloid Spirit Kalsel, SKH Mata Banua, Sinar Kalimantan, Tabloid Serambi Ummah dan di laman (website) www.mahmud-bahasasastra.co.cc Sejak tahun 2004 jadi tenaga peneliti di lingkungan Pusat Bahasa Balai Bahasa Prov. Kalteng. Wakil Sekretaris Komunitas Sastra Indonesia Cabang Kertak Hanyar Kalsel. Buku - bukunya antara lain : Lingkar Kata (kumpulan artikel), Kupu-Kupu Kuning (kumpulan puisi), Demi Pernikahan Adik (kumpulan cerpen), dan Menanti Tamu Lebaran (kumpulan cerpen dan puisi). Makalahnya berjudul ”Bahasa Indonesia, Film Nasional, dan Generasi Bangsa” dimuat di majalah Nawala, Pusat Bahasa, Jakarta. Makalahnya berjudul Peranan Mamanda terhadap Eksistensi Bahasa Banjar diterima dalam Konferensi Antaruniversiti Se-Borneo IV di Kaltim tahun 2008. Dalam Kongres Bahasa tahun 2008, makalahnya berjudul Mantra Banjar: Bukti Orang Banjar Mahir Bersastra Sejak Dahulu diterima sebagai makalah kontribusi.





Arsyad Indradi, Menyelesaikan Sepuluh Buku dalam Satu Tahun Dua bulan




Oleh : Harie Insani Putra

Saat RUMAH CERITA menemui Arsyad Indradi dirumahnya jl Pramuka no.16 ternyata beliau sedang sibuk melipat kertas. Melihat kami datang, AI langsung menghentikan peker-jaannya.
Setelah kami masuk, terbentanglah pemandangan buku-buku yang telah tersusun, alat pemotong kertas, bungkusan buku siap kirim, dan lembar-lembar kertas yang belum selesai dilipat. Di rumah sekaligus tempatnya memproduksi buku, AI seperti sedang menyiapkan masa tua yang terencana. Kepada kami ia bilang jika tugasnya sebagai pegawai negeri telah selesai, kepada bukulah ia akan mengabdi.
Masih banyak karya-karyanya yang belum terdokumentasi, itu disebabkan pada tahun 1970, AI lebih konsentrasi kepada seni tari.
“Karena dulu sibuk menari, banyak karya yang tidak sempat diketik dan sekaranglah kesempatan untuk mengumpulkannya kembali dan dijadikan satu ke dalam buku,” tutur AI yang pada tahun 2004 pernah diudang oleh kerajaan Malaysia dalam acara pesta tari gendang nusantara 7 di Malaka.
Setelah dirasa cukup berbasa-basi, RUMAHCERITA langsung menanyakan tentang proses pengerjaan buku antologi puisi nu-santara. Sambil mengusap ram-but, AI mene-rangkan kenapa ia butuh waktu satu tahun dua bulan untuk menyelesaikan antologi nusantara.
“Saya butuh waktu satu tahun dua bulan untuk menyelesaikan buku antologi puisi nusantara karena juga mengerjakan buku yang lain,” ungkapnya. “Sebenarnya saat ini saya hanya tinggal mencetak ulang saja karena sepuluh buku tersebut sudah habis,” terangnya kemudian. Arsyad Indradi juga mengatakan bahwa kawan-kawan penyair luar daerah menyebutnya sebagai penyair ‘gila’ karena memproses buku sebanyak itu dalam waktu singkat.
Sepuluh buku itu tentu bukan karya pribadinya saja tapi beberapa karya komunitas sastra di kota Bandung.
“Saya salut dengan keberadaan mereka sebagai komunitas sastra. Sewaktu berada di sana, saya melihat langsung apa yang mereka kerjakan. Semangat menulis mereka tinggi dan hati saya terpanggil untuk menerbitkan karya puisi mereka yang selama ini belum pernah dibukukan,” ceritanya mengenang setahun yang lalu ketika berkunjung ke kota Bandung.
Sebenarnya ‘gila’ yang dimaksud tidak saja mengarah karena telah menerbitkan sepuluh buku, tetapi juga karena semua penerbitan buku yang sudah ada dibiayai dari isi dompetnya sendiri, termasuk antologi puisi nusantara yang dalam satu bukunya berjumlah 728 halaman.
Mengenai ini Arsyad tenang-tenang saja, ia tidak ingin meminta bantuan, kalau tidak mampu ia akan memilih untuk diam tapi jika ada yang ingin membantu, barang tentu tanpa harus ia memintanya dulu.
“Alhamdulillah selama ini berjalan lancar. Meski demikian kendala pasti ada tapi bisa saya selesaikan,” jawabnya tulus.
Selama mengerjakan semua buku, tak sekali dua jari tangannya tersayat pisau cutter. Utamanya pada saat mata mulai terasa berat karena kurang tidur. Arsyad akan merasa puas jika buku yang diterbitkannya murni hasil kerja tangannya sendiri. Maka tahap demi tahap, mulai dari melayout, menyusun halaman, mencetak, melipat kertas, sampai menjilid dilakukannya sendiri. Arsyad percaya bahwa tidak ada hasil yang cemerlang tanpa diawali dengan kerja keras.
Seandainya ingin dibayangkan, sebagai pegawai negeri, sejak pagi Arsyad harus bekerja seharian. Kembali ke rumah, ia segera membuka layar komputer untuk melanjutkan pekerjaan bukunya hingga malam. Terus begitu hingga proses penjilidan. Tentu ini sangat melelahkan.
Tapi Arsyad selalu memotivasi dirinya sendiri bahwa pekerjaan apa pun akan selesai apabila segera dimulai. Apalagi banyak yang menyangsikan ketika AI berniat menerbitkan antologi puisi nusantara, kesangsian itu tidak mem-buatnya patah semangat, sebaliknya menjadi motivasi untuk membuktikan bahwa dirinya mampu. Nyatanya sekarang buku antologi nusantara telah terbit.
Setelah cukup panjang lebar, akhirnya RUMAH CERITA undur diri agar beliau bisa melanjutkan pekerjaannya kembali.
Selamat bekerja penyair Arsyad Indradi. Lain waktu kami datang kembali.***


Harie Insani Putra
redaktur Mini Magazine Rumah Cerita, cerpenis.
( Rumah Cerita #01 Mei 2007 )





Lahir di Banjarmasin, 23 Februari 1980. Lebih banyak menulis cerpen dari pada puisi dan esai. Karya – karyanya terbit di SKH Radar Banjarmasin dan dalam publikasi sederhana. Kumpulan cerpennya Rumah Bawah Atap (2005), Belajar Mencntaimu (2005). Cerpen : Rahasia sedih Tak Bersebab Pemenang I Lomba Penulisan Cerpen pada Aruh Sastra III se Kalsel di Kotabaru (2006) dan Cerpen : Kuyang Pemenang Harapan II Lomba Penulisan Cerpen pada Aruh Sstra V se Kalsel di Balangan (2008).

ARSYAD INDRADI: Antologi Nusantara Fenomena



Oleh Qinimain Zain*

FEELING IS BELIEVING. ALASAN orang tetap menghasilkan sesuatu yang kecil, karena tidak pernah berpikir ingin menghasilkan sesuatu yang besar (Brian Tracy).

TULISAN (kritik sastra, bisa berupa esai, opini, artikel di koran dan majalah ) dapat dibagi atas tulisan akademis dan umum. Tulisan umum bertujuan apresiasi. Tulisan akademis, bertujuan apresiasi, tetapi juga untuk kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan masyarakatnya. Tulisan akademis penting, karena memungkinkan perspektif atau makna baru (Maman S. Mahayana, Media Indonesia, 20/04/97).
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, ada beberapa buku antologi sastra fenomena yang monumental, yang telah dibahas dalam tulisan akademis dan berpengaruh besar bagi pencipta sastra dan akademik. Untuk puisi, antologi pribadi seperti Chairil Anwar dengan Deru Campur Debu (1959) dan Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus (1978), Sutardji Calzoum Bachri dengan O (1973) dan Amuk (1977), atau WS Rendra dengan Ballada Orang-orang Tercinta (1957), beberapa yang lain. Antologi bersama, seperti Angkatan 66 (prosa dan puisi) oleh HB Jassin (1968), Angkatan 2000 (Dalam Sastra Indonesia) oleh Korie Layun Rampan (2000), serta baru-baru ini, Antologi Puisi Penyair Nusantara (142 Penyair Menuju Bulan) oleh Arsyad Indradi (2006).
Lalu, apa beda fenomena Antologi Puisi Penyair Nusantara, dibanding antologi yang lain bagi kalangan akademisi?
Antologi Angkatan 66 dan Angkatan 2000 adalah kesimpulan pemikiran akan fenomena yang sudah ditetapkan oleh penghimpunnya, meskipun sintesa itu masih dapat dipertanyakan. Sedang Antologi Puisi Penyair Nusantara adalah bahan fenomena terbuka yang siap diteliti menjadi banyak kesimpulan yang berguna bagi dunia akademik dan penggiat sastra.
Untuk mudah memahami fenomena dan meneliti puisi (juga yang lain), dalam paradigma baru (R)Evolusi Ilmu Sosial - Administrasi dan Manajemen Ilmiah Modern, Total Qinimain Zain: The Strategic-Tactic-Technique Millenium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Segmentation Research of Poetry (Lihat Diagram), dapat dijelaskan. Segmentasi semakin menekankan ke geografi, berdasarkan fenomena banyak karya, perlu contoh bahan, biaya, tenaga dan wawasan besar pula, penelitian semakin berat, tetapi hasilnya sangat bermakna. Segmentasi semakin menekankan ke individu, berdasarkan fenomena satu karya, contoh bahan, biaya, tenaga dan wawasan relatif kecil, penelitian semakin ringan, tetapi hasilnya kurang bermakna.
Contoh dari yang ringan, individu (individualized), membahas fenomena unsur sebuah puisi dari salah satu penyair. A. Teeuw membahas puisi Jante Arkidam dari Ajip Rosidi dalam Tergantung Pada Kata (1980). Lalu meningkat berat ke tingkah laku (behavioral), Rachmat Djoko Pradopo membahas antologi Chairil Anwar dalam Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra indonesia Modern (1985). Berikutnya lebih berat lagi kejiwaan (psychographics), HB Jassin dengan Angkatan 66 (1968). Lalu bagaimana berikutnya dengan penelitian berkaitan usia (demographics) dan wilayah (geographics)? Antologi Puisi Penyair Nusantara dari Arsyad Indradi, terbuka menunggu penelitian baik tingkat sarjana, pascasarjana, bahkan doktoral kalangan akademik.
Dalam antologi ini dari 142 orang, ada tiga penyair kelahiran dekade 1930-an, sepuluh, 15, 25, 31, 50 orang kelahiran 1940-an, 1950-an, 1960-an, 1970-an, 1980-an, selain 3 wanita dan 15 laki-laki tanpa mencantumkan tahun kelahiran. Tentu akan menarik meneliti unsur puisi dari kata konkret, diksi, irama, gaya dan daya bayang mereka dihubungkan dengan usia dan tahun penciptaan puisinya. selanjutnya, domisili mereka lebih dari 53 kota yang berbeda di Indonesia dari Ambon sampai Aceh, yang tentu berbeda suku, meski beberapa penyair berasal dari kota kelahiran dan suku setempat. Tentu akan menarik meneliti unsur puisi dari kata konkret, diksi, irama, gaya dan daya bayang mereka dihubungkan dengan wilayah Indonesia bagian timur, tengah dan barat, atau suku tertentu berlatar budaya yang berbeda dengan pengaruh globalisasi sekarang.
Akhirnya, sekali lagi, fenomena Antologi Puisi Penyair Nusantara penting bagi penelitian tulisan kalangan akademik dan umum. Pengadaan antologi ini telah memakan biaya, waktu, dan tenaga demikian besar, sehingga merupakan keteledoran besar jika bahan siap pakai di depan mata tersia-sia. Kecuali kalau semua pura-pura buta.

ORANG yang tidak lapar akan menyatakan tentang kelapa: Kulitnya Keras! (Pepatah Abessinia).

BAGAIMANA strategi Anda?

*Direktur QPlus Management Strategies, www.scientist-strategist.blogspot.com

Tiga Kutub Senja’ Yang Tak Berkutub



Oleh : Jarkasi

Energik! Itulah ungkapan yang tepat saat ini untuk komunitas sastrawan Banjarbaru, baik yang terhimpun dalam "Kilang Sastra Batu Karaha" maupun yang aktif secara individual. Bukan tidak mungkin, sentral tulis-menulis puisi sekarang berpusat di Banjarbaru, setidaknya ini dilihat dari keaktifan penyair-penyairnya mereaktualisasikan genre puisi dalam beberapa antologi yang dalam lima tahun terakhir cukup banyak ditampilkan. Salah satu di antara antalogi tersebut adalah, "Tiga Kutub Senja’ yang memuat puisi-puisi tiga penyair senior; Eza Thaberi Husano, Hamami Adaby, dan Arsyad Indradi. Tiga sosok ini boleh diacungi jempol, sebab cukup getol menggeluti dunia puisi.
Semula kita memang diantar untuk menyelam ke dalam lanskap "kutub senja" dari tiga penyair ini. Tapi rupanya tidak demikian. Kita belum mendapatkan lanskap senja itu kecuali beberapa untaian puisi yang ditulis oleh Arsyad Indradi. Yang kita temui justru aneka refleksi penyairnya yang menganggap diri usia menjelang senja.
Aneka obsesi menyeruak dalam antalogi ini, namun sayang antologi terkesan tidak membuhul dalam tematik senja sebagaimana diutarakan dalam pengantar penerbit. Masih terdapat pula karya-karya lama yang dimuat dalam kumpulan ini. Meski begitu, kita agak sedikit terobati oleh pemakluman imaji penyair yang melanglang buana dari pengusungan tema-tema yang variatif.
Eza Thaberi Husano mungkin lebih kuat dalam perlambangan dan simbol-simbol kehidupan yang merintih. Puisi-puisinya punya maksud serius tentang eskpresi kegelisahan atas kondisi alam, zaman, dan keterpurukan manusia. Lihatlah misalnya dalam "Urbanisasi Anak-anak Puisiku", ungkapan-ungkapan bumi sakit terkapar, sakit tak ada awal tak ada akhir, seperti khotbah takdir kepada penyair, anak-anak puisiku: hidup itu melayuh duri.
Berbeda dengan itu, puisi-puisi Hamami Adabi agak reportois pada alam tanpa opini. Ia seorang pengagum alam yang bicara dari langit ke langit dan dari lanskap ke lanskap. "Pelangi Senja" Cakrawala pelangi selalu kukagumi, karena selingkuh warna, air, matahari dan bumi, meneteskan gula paduan zatnya.
Masih kita dapatkan lagi imaji-imajinya pada laut "Di Atas Kapal" Angin berlomba mengejar Samudera, berlomba menggetar sukma, begitulah seterusnya adinda. Boleh jadi sisa-sisa romantik masih berkesan di jiwa penyair ini sebagaimana kita dapatkan dalam sajak "Ballada di rumah sakit" aku pamit, kubisiki,kita selalu bersama sayang.
Arsyad Indradi, penyair yang juga penari ini memang kelihatan lebih mempertimbangkan kematangan dalam menangkap kelebat imajinya. Arsyad kembali menuranikan obsesinya dalam efek relegiusitas di tempat yang paling tinggi, di puncak nurani.
Imajinya menggelandang ke dalam relung hati, menjelajah tubuh dan mengisi nikmatnya dahaga, masuk ke dalam lubuk jantungnya. Asosiasi makna yang terdapat dalam style imagis Arsyad terasa lebih bebas menggiring dan bergerak menekan konteks.
Bila kita dapat lebih khusyu dengan idiom-idiom putik kita seakan diajak penyair menelisik mengikuti perjalanan batinnya yang sendu. Tak ada kekakuan idiom (ufoni), bahasanya bergerak manja untuk kita ikuti ke sana kemari.
Semua puisi yang beringuh romantis ini ditulis di tahun 2000. Tentu ini prestasi tersendiri. Namun, amat sayang pula kita mesti mencari tahu sistem yang lecentia poetica Arsyad dalam penulisan tanda hubung pengulang yang ditanggalkan begitu saja seperti, mazmurmazmur, akarakaran, gordengorden, gurungurunmu, riakdemiriak, masasilamku, burungburung, awanawan, rindudendam, bayangbayang, bintangbintangMu, karangkarang, langitlangitmu, hentihenti, halamandemihalaman, acuhtakacuh, dan lain-lain.
Hampir setiap judul puisi berisi sistem penulisan itu, padahal itu sebuah sistem yang tidak lazim. Tentu ketaklaziman ini sebuah refleksi licentia poetica yang hanya diketahui penyairnya.
Pertanyaan kita, mestikah konstruksi ini diciptakan seperti itu tanpa historisitas meaning. Tentu jawaban yang diharapkan bukan sekadar berlindung dalam legitimasi kebebasan penyair, tapi lebih dimungkinkan ada efek semiotik yang ingin disuntikan dari konstruksi itu. Bertebarannya konstruksi ini agak menggangu kenikmatan.
Meski demikian, kita perlu salut untuk ketiga penyair "Tiga Kutub Senja" atas kerja keras mereka membangun komunitas. Biarlah, komunitas ini lahir, hidup, besar dan mati sendiri di tempat ini, meski orang-orang sana memang tidak peduli untuk kelahiran kita.

Jarkasi, pengamat seni dan budaya di Banjarmasin
Dimuat di http://www2.kompas.com

Jarkasi
Dilahirkan di Kertak Hanyar, 30 Mei 1960. Sarjana FKIP Unlam Banjarmasin, sekaligus dosen pada almamater tersebut. Mulai menulis puisi, cerpen, serta esai-esai sastra dan budaya sejak tahun 80-an. Publikasi tulisan antara lain : di SKH Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin, Tabloid Wanyi dan Jendela Serawak (Malaysia). Buku-buku yang sudah diterbitkannya adalah Kajian Prosa Fiksi dan Drama (1999), Karakter Tokoh-tokoh Idaman Cerpen Banjar Modern (1999), Struktur Sastra Lisan Lamut (2000), Sketsa Penyair Kalimantan Selatan (2001), Mamanda : dari Realitas Tradisional ke Kesenian Populer, dan Madihin : Hakikat, Fungsi dan Formula. Buku yang siap untuk diterbitkan berikutnya adalah, Geliat Seni Pertunjukan di Banjarmasin dan Lamut : sebuah Kajian Internal dan Eksternal.

Sastra dan Facebook: Berteman atau Bermusuhan?



Oleh : Mahmud Jauhari Ali
Pecinta Bahasa dan Sastra

Judul di atas bisa jadi sedikit konyol bagi sebagian orang. Bisa jadi ada orang yang berpikir, apa hubungan keduanya hingga dipertanyakan berteman atau bermusuhan? Sastra memang telah lahir sejak dahulu dan facebook baru berumur lima tahun lebih. Sastra sudah lahir sejak lama, jelasnya sejak saya dan Anda belum lahir. Karena itulah kita mengenal adanya sastra lama dan sastra mutakhir. Baik sastra lama, maupun sastra mutakhir sama-sama mengemban dua hal utama, yakni bermanfaat dan menghibur. Kita mengenal dua hal itu dengan istilah dulce et utile. Saat ini sebagian dari kita sering berkutat pada sastra mutakhir dan tanpa melupakan sastra lama dalam pelestariannya. Kita berharap dan berusaha sastra tetap eksis seterusnya dari masa ke masa.
Sementara itu—Mark Elliot Zuckerberg—si pembuat facebook itu dengan dibantu dua temannya, yakni Dustin Moskovitz dan Chris Hughes meluncurkan facebook sejak 4 Februari 2004 lalu. Tidak dapat kita pungkiri facebook merupakan situs jejaring sosial yang terasa sekali membuminya di tanah air kita sejak akhir tahun 2008 dan terus berkembang hingga hari ini. Kenyataannya, mulai dari anak SD sampai orang dewasa di Indonesia telah menjadi anggota situs jejaring sosial yang satu ini. Facebook tidak jauh beda dengan situs jejaring sosial lainnya seperti myspace, friendster, linked in, fupei, bebo, hi5, dan twitter dalam hal persahabatan dunia, di samping perbedaan fasilitas yang ada pada masing-masing situs jejaring sosial tersebut. Dengan menjadi anggota di facebook, kita dapat menemukan teman-teman lama dan baru serta berkomunikasi dengan mereka. Kita dapat menuliskan ide atau gagasan di ruang yang sudah disediakan pihak perusahaan facebook tersebut. Berbagai-bagai ide dituliskan dalam ruang masing-masing pengguna situs jejaring sosial asal paman Sam itu, yakni mulai dari hal sederhana sampai hal serius.
Dari sekian banyaknya pengguna facebook itu, sebagian sastrawan di Indonesia juga ikut menjadi penggunanya. Sebagian sastrawan rupanya tidak mau ketinggalan dalam hal teknologi internet. Hal itu dapat kita maklumi karena sejatinya sastrawan itu adalah cendekiawan andal. Sebagian sastrawan yang saya maksud itu mencakup sastrawan Kalimantan Selatan (Kalsel) dan di luar Kalsel. Sebut saja Arsyad Indradi. Penyair asli Kalimantan Selatan ini selain sebagai pelaman (blogger) yang andal, juga aktif sebagai pengguna facebook (facebooker). Di facebook, Arsyad Indradi meletakkan puisi-puisi bermutunya untuk dinikmati dan diambil manfaatnya oleh pengguna facebook lainnya. Tentu saja dengan puisi-puisinya itu, secara otomatis sastra merambah dunia jejaring sosial yang satu ini. Selain itu, jangkauan sastra pun menjadi semakin luas.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbincang santai dengan Arsyad Indradi soal facebooksan sastra. Pada intinya Arsyad Indradi menginginkan publikasi sastra yang luas jangkauannya dan tentunya juga dapat dinikmati serta diambil manfaatnya oleh banyak orang di berbagai belahan bumi kita. Menurutnya, facebook apat menjadi media publikasi sastra sekaligus ruang diskusi sastra yang menarik bagi siapa saja. Jujur, saya sangat setuju dengan pemikiran Arsyad Indradi ini. Mengapa ? Karena facebook memang sebuah media yang sangat luas jangkauannya dan kita dapat memublikasikan karya-karya kita serta
berdiskusi antar pengguna facebook secara serius. Dengan kata lain, facebook kita dapat memublikasikan karya sastra kita disertai diskusi yang luas. Bukan hanya diskusi dengan sesama sastrawan, melainkan juga dengan orang banyak dari berbagai bidang kehidupan.
Jadi, kita dapat berusaha membumikan sastra secara luas via facebook.
“di sebuah rumah tua/di sudut sebuah kota/seorang anak kecil /menangis di samping ibunya/yang terbaring di sepotong tikar butut/berjuang mempertahankan sebuah nafas yang terakhir/untuk meneteki satu tetes susu buat anaknya “, kata-kata itu adalah penggalan salah satu puisi penyair Arsyad Indradi berjudul Seorang Anak Kecil Minta Susu Kepada Ibunya Yang Mati yang diletakkannya di facebooknya. Puisi itu tentunya mendapat komentar dari pengguna facebook lainnya, seperti Hamberan Syahbana (sastrawan Kalsel) dan Abdul Kohar Ibrahim ( seorang sastrawan dan pelukis kelahiran Jakarta, 1942 dengan nama lukis Abe ).
Yang sangat menarik, Arsyad Indradi disamping memperkenalkan bahasa Banjar, banyak memuat puisi-puisi bahasa Banjar di facebook ini seperti Bagandang Nyiru, Kai Adul, Nisan Balumur Darah dan lain-lain.Puisi tersebut termuat dalam kumpulan puisi bahasa Banjar dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia “ Kalalatu “.
Selan puisi, para pengguna facebook dari kalangan sastrawan juga dapat meletakkan cerpen, esai sastra, naskah dramadan lainnya. Sebagai contoh lain, Hamberan Syahbana meletakkan naskah-naskah dramanya di facebooknya disertai komentar dari pengguna lainnya. Arsyad Indradi dan Hamberan Syahbana merupakan bukti bahwa sastrawan Kalsel memajukan sastra di mata dunia melalui media-media yang dapat mereka manfaatkan, termasuk via facebook ini.
Jika anda adalah seorang pengguna facebook, Anda dapat menemukan nama-nama seperti Ahmadun Yosi Herfanda,Radhar Panca Dahana, Agus R Sarjono, Kurnia Efendi, Dimas Arika Mihardja, Diah Hadaning, Saut Situmorang, Hudan Hidayat, Abdul Kohar Ibrahim, Isbedy Stiawan SZ, Yusri Fajar, acep Zamzam Nur, Asma Nadia, Healvy Tiana Rossa dan lain-lain yang kesemuanya merupakan sastrawan Indonesia yang andal. Dalam hal ini kita dapat berdiskusidengan mereka berkenaan dengan sastra dan lainnya, selain berdiskusi dengan sastrawan Kalsel. Diskusi tentunya lebih baik dilakukan daripada sekedar diam sambil manggut-manggut mengamini kata-kata orang terkenal kan ?
Facebook memang hanyalah sebuah situs di dunia maya, tetapi dapat kita manfaatkan untuk kemajuan dunia sastra nyata di Kalsel dan juga dalam cakupan wilayah yang lebih luas lagi dari pada itu. Mungkin sebagian dari kita masih gaptek dengan teknologi internet. Akan tetapi, saya yakin dengan banyak bertanya dan membaca buku-buku seputar teknologi internet, insya Allah gapteknya menjadi hilang. Mau tidak mau, kita harus menyentuh dan memanfaatkan kemajuan zaman. Facebook merupakan salah satu wujud kemajuan zaman yang dapat kita manfaatkan untuk kebaikan dalam dunia sastra. Walau demikian, bagi yang bekerja di kantoran, khususnya di di perusahaan, saran saya jangan terlalu sering menggunakan facebook agar pihak perusahaan tempat Anda bekerja tidak memblokir situs jejaring sosial ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa ada perusahaan yang memblokir situs ini karena para karyawannya terlalu sering menggunakan facebook sehingga kinerja mereka menurun. Bagi yang bukan orang kantoran pun jangan juga terlalu berlebihan dalam menggunakan facebook. Kita harus meluangkan waktu untuk yang lain. Seperti shalat dan menulis di media cetak
Sastra dan facebook dapat berjalan dengan rukun selama kita sebagai pelaku keduanya dapat berlaku bijaksana. Maksudnya, kita dapat menggunakan facebook dan mengisi ruang-ruang yang tersedia di situs itu dengan karya sastra tanpa berlebihan. Selain itu, kita saling mengomentari tulisan yang ada di facebook secara sehat. Dengan demikian, antara sastra dan facebook ada hubungan yang harmonis. Harmonis dalam arti, sastrawan dan pihak facebook dapat berjalan bersama dalam hubungan yang saling menguntungkan. Sastrawan mendapat keuntungan bisa memajukan sastra lewat facebook. Pihak facebook pun mendapatkan keuntungan dengan adanya para sastrawan sebagai penggunanya yang aktif. Demikianlah tulisan saya yang sangat sederhana ini. Semoga apa yang saya tuliskan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.***

Antologi Puisi Penyair Nusantara : Dari Negeri Bandung Menuju Bulan




Oleh : Bambang Widiatmoko

Perdebatan tentang mazhab romantisme mungkin tak akan pernah berakhir. Terutama relevansi romantisme yang berkembang di kesusastraan Eropa di abad ke-19 dalam kesusastraan Indonesia. Namun banyak yang sepakat mazhab romantisme di Eropamengacu pada suatu gerakan seni-sastra yang bisa ditelusuri sejak akhir abad ke-18 di Eropa Barat, khususnya Jerman dan kemudian Inggris, yang menjadi aliran menonjol di pertengahan abad ke-19 ke seantero Eropa dan belahan dunia lainnya.
Sapardi Djoko Damono dan Saini K.M. menguraikan munculnya romantisme Eropa sebagai suatu reaksi terhadap suatu aliran yang disebut sebagai Klasisisme, yang menitik beratkan pada keseimbangan, aturan dan konvensi dalam seni, mengedepankan intelektualitas dan rasio, objektivitas serta orientasi budaya yang mengacu pada tatanan sosial politik yang didominasi oleh kaum elit bangsawan dan agamawan.
Sementara di Amerika, munculnya romantisme menurut Melani Budiana, bertolak dari kejenuhan terhadap dominasi dogma aliran Kristen Puritan Kalvas, dan cara berpikir pencerahan yang rasional, dan cenderung steril dan emosi. Kembali melihat masa lampau, yang jauh dari hingar bingar peradaban masa kini merupakan salah satu ciri romantisme, seperti yang dipelopori oleh Sir Walter Scott dengan genre sastra sejarahnya. Kecenderungan yang sama juga mengarah pada eksotisme, suatu orientasi kepada yang asing, dan yang jauh, yang digambarkan sebagai dunia yang mempesona dan eksotik.
Seni romantik menggali inspirasi dari seni yang tumbuh dari kehidupan rakyat kecil sehari-hari seperti balada, folklor, dongeng, dan legenda. Dengan aspel-aspek yang diutamakan oleh gerakan romantisme, William Shakespeare, dramawan yang hidup tiga abad sebelumnya (1564-1616) menjadi populer kembali di masa romantik.
Bagaimana dengan romantisme dalam naskah-naskah lama di Nusantara ? Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814 sampai 1823 dan diprakarsai oleh Adipati Anom Amangkurat III, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Sunan Paku Buwana V (1820-1923), mengungkapkan juga erotik romantisme. Serat Centhini merupakan ensiklopedi budaya Jawa yang sangat berharga karena membicarakan banyak perkara dan peristiwa yang mengandung keagungan. Kandungan isinya sangat beragam, meliputi sejara, pendidikan, geografi, arsitektur, pengetahuan alam, falsafah, agama, tasawuf, mistik, ramalan dan sebagainya.Kita juga bisa menemukan masalah sanggama dan romantisme yang terkandung dam Serat Centhini,
Suasana romantik dapat saya temukan kembali ketika membaca Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan, diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru Kalimantan Selatan, tahun 2007.
Dalam antologi ini, banyak puisi-puisi yang mengungkapkan erotik romantisme. Kita lihat dalam puisi Aen Trisna Wati berjudul Mimpi Basah : //mengendapkan kerinduan/pada dinding kamar, pada detak hujan, pada dingin/yang menyeka malam menjadi malam/suara batuk tertancap di gemuruh/menjadi sunyi/menyimpan kerinduan/pada sebotol air putih/kemudian kuteguk/menjadi bayang-bayang/menjelma lingkar matamu/hingga masuk ke kantung kemihku/malam kian sunyi/kutitipkan puisi rindu/di atas bantal biru/lalu mengecup bayangmudan bergumam pelan/’selamat malam’/dan lelap resah hingga basah/ (hal.12).
Juga puisi Ahmad Syam’ani berjudul Syair Perempuan ://Lihat, salam hangat perempuan/Lentik matanya/Ketika sedikit kata-kata menari/Sampai jejak pintu pentas pun memanggil/Namanya, dengan tekun// (hal.33).
Atau puisi Ali Wardana berjudul Ronggeng://Menimbang lenggok senyum selendangmu/kembangkan lanskap dukuh kumuh/ di tingakah dayu kembang/disela suit serta tepuk tangan/di buai ketipak kendang (hal.63). Begitu pula dengan puisi Aminuddin Rifai berjudul Makrifat Sungai://amboi/aku kembali memastikan/bahwa syahwatku telah basah/oleh mengintipmu/di sungai// (hal.70). Bisa diperpanjang lagi dengan puisi Aslan Abidin berjudul Polispermigate ://tapi nawang wulang, aku juga suka/membayangkan kau membuka celana/untukku dan mungkin aku terkesiap/menatap kemaluanmu yang mangap//(hal.102).
Masih banyak puisi yang berkisah tentang romantisme ditulis dengan baik oleh penyairnya. Begitu pula beberapa penyair berhasil menuliskan puisi tentang perempuan dengan cukup memikat. Ada satu puisi berhasil mengungkapkan tentang dunia waria ditulis Boufath Shahab berjudul Kau Tahu Sihir Waria : //jika sekali saja kau kerlingkanmata/akan kusihir dunia menjadi semesta canda dan tawa/pernahkah kau berpikir tentang ruh perempuan yang terjebak/di sekujur badan lelaki, karena kesalahan malaikat pengatur jasad ?/maka bermain-mainlah di kedalaman kelaminku/aku akan telanjang bersama kupu-kupu/atau jika kau mau, aku akan menjadi seekor kupu-kupu yang/telanjang bersamamu/mungkin akan kau temukan bekas-bekas air matabahagia ibu/ketika pertama kali aku mampu mengeja namaku/dan ia menghadiahiku sebutir bola yang penuh warna/kudekap perut ibu : ibu, aku tak bahagia/aku merindukan sebuah boneka// (hal.121).
Buku setebal 728 halaman hasil kerja keras Arsyad Indradi selaku editor menunjukkan betapa beragamnya tema-tema yang ditulis penyairnya. Tentu tidak semua penyair yang terlibat di dalamnya, berhasil menampilkan puisinya dengan baik. Beberapa puisi terkesan masih dangkal. Bahkan saya menemukan puisi yang ditulis dengan gaya penulisan puisi mbeling seperti yang pernah dipopulerkan Remy Silado.
Seperti puisi yang ditulis Ahmad S.Rumi berjudul Negeri Bandung ://Di negeri Bandung/Puisi cukup mahal/Jalannya beraspal/Jalurnya ditunggu preman/Redakturnya amat terkenal//(hal.29).Kutipan bait pertama dalam puisi tersebut menunjukkan bahwa penyairnya hanya mencoba bermain-main dengan kata-kata, belum mencoba mengolah secara lebih mendalam tentang Negeri Bandung. Lantas apa manfaatnya bagi bublik sastra jika disajikan puisi-puisi semacam itu ?
Begitu pula bila membaca puisi-puisi yang bertabur huruf kapital, apakah lantas dengan demikian mengubah puisi tersebut menjadi puisi relegius ? Misalnya dalam puisi yang ditulis Kiki Turki berjudul Surat Untuk Kekasih I :// Di malam sunyi ku terbangkan daun-daun doa/sampaikan pesanku pada-Mu?/Kekasih, aku alpa pada-Mu/Tapi tidakjkah Kau ampuni aku//(hal.342). Juga pada : //Kekasih …./Hari ini aku menelpon-Mu kembali/Jawablah walau sekedar veronica! (hal.343).



Tentunya jika yang dimaksud ingin menulis puisi religius, tidak sesederhana atau sekedar menempelkan huruf kapital. Setiap manusia memiliki naluri religiusitas, yaitu naluri untuk berkepercayaan. Naluri itu muncul bersamaan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup dan alam raya yang menjadi lingkungan hidup sendiri. Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Konsep religiusitas adalah rumusan brilian, yang mencoba melihat keberagamaan seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tetapi mencoba memperhatikan segala dimensi.
Keberhasilan menuliskan segala dimensi sebagai suatu konsep religiusitas tampak dalam puisi Ali Syamsuddin Arsi berjudul Bermain Bersama Anak-Aanak ://Tuhan, jarak sepereti apa lagi yang akan engkau paparkan/dariliku-likunya kasih sayang, sementara cinta/haruslah tetap dipertahankan/waktu sampai ke batas kematian/karena keabadian itu merupakan sumber bayangmu/dari zaman ke zaman, dari ruang ke ruang//(hal.55).Tanpa harus bertabur huruf-huruf kapital pun sudah sangat jelas penyairnya berhasil menuliskan sajak religiusnya.
Begitu pula jika membaca puisi yang ditulis Arsyad Indradi berjudul Darah, penyairnya berhasil menyajikan makna religiusitas dalam puisinya ://Adalah langit darah berdarah/Tak habishabis jadi laut berabad-abad telah/tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu/tak singgahsinggah pada dermaga darahku/Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu/kutubku tenggelam dalam kutubmu/menghempas napas darahku membatubara/ di kunci rahasia Alifmu Alif Alif/darah Adamku yang terdampar di bumi/yang rapuh berabad-abad mencari darah Hawaku/yang rapuh tersesat di belantaramu meraung/darah laparku mencakarcakar mencari darahku/beri aku barang setetes Hu Allah/getar alir napas menyeru darahmu/mengalir darahmataku mengalir dari musafir/di sajadahmu/mengalir menuju rumahmu (hal.88).

-oOo-

Beberapa kelemahan terkesan agak mengganggu dan bisa untuk koreksi dalam penerbitan antologi puisi selanjutnya. Seperti pemuatan puisi yang sama pada halaman 33 dan 35. Pemuatan foto pada halaman 698,699,700,7001,7002 terasa sangat mengganggu, apalagi tanpa ada penjelasan sama sekali dari editor dalam kata pengantarnya. Ada ungkapan yang menyebutkan satu foto mewakili seribu kata-kata. Puisi di halaman tersebut menjadi berkurang maknanya setelah kita melihat foto yang menyertainya. Maaf, tanpa ada penjelasan lebih rinci, judul yang tepat untuk buku ini adalah antologi puisi dan foto.
Sebagai penutup tulisan ini, kita kutip saja penggalan puisi dalam antologi 142 Penyair Menuju Bulan, barangkali bisa merefleksikan isi keseluruhan antologi puisi ini seperti ditulis Ahmadun Yose Herfanda://Ah,apapun yang terjadi padamu/Indonesia, aku tetap mencintaimu (hyal.39).Atau boleh juga puisi Dimas Arika Mihardja ://’kulihat ibu pertiwi/sedang berduka hati…’/Indonesia bau, begitu kita berseru/Indonesia baru, berseteru melulu//(hal.158).
Apa pun wujud dan isi dari antologi puisi : 142 Penyair Menuju Bulan, tetap dapat menjadi rujukan untuk mengkaji perkembangan sastra di Indonesia. Semoga ***


Setia Berkarya Hingga Usia Senja



Oleh: Aliansyah Jumbawuya

Para sastrawan muda yang hari ini cukup kreatif dan produktif mempublikasikan tulisannya di berbagai media massa, ada baiknya sejenak mempertanyakan pada dirinya: akankah terus berkarya hingga usia tua, bahkan sampai maut menjemput? Ataukah kehadirannya di blantika sastra hanya untuk sesaat, kemudian menghilang tanpa jejak? Sebab, sejarah mencatat tidak sedikit mereka yang dulunya begitu bersemangat berkarya, entah karena faktor apa, kini tak terlihat lagi goresan penanya.
Di sinilah bedanya antara penulis amatir dan penulis profesional. Idealnya ketika seseorang memilih berkecimpung di dunia sastra, sepanjang usia ia dedikasikan untuk berkarya. Meskipun sampai sekarang umumnya dari segi materi karir sebagai penulis lepas (freelance) belum bisa dijadikan sandaran hidup, kecuali buku-bukunya best seller di pasaran. Namun sebenarnya hal itu dapat disiasati, kalau tidak bisa totalitas atau semata mengharapkan sumber nafkah dari menulis, minimal sebagai pekerjaan sampingan. Di Kalsel cukup banyak sastrawan yang menjadikan menulis sebagai profesi sampingan. Ada yang aktivitas utamanya jadi PNS (Micky Hidayat, Tajuddin Noor Ganie, A Bacco), dosen (Setia Budhi, Sainul Hermawan), guru (Ali Syamsuddin Arsi, Jamal T Suryanata, Zulfaisal Putera, Hasbi Salim), wartawan (Aliansyah Jumbawuya, Sandi Firly), dan lain-lain. Yang penting, ia tidak lupa untuk terus berkarya.
Inti persoalannya ialah, apakah kita memang serius atau cuma setengah hati mencintai sastra. Kalau kita sungguh-sungguh kepincut pada bidang sastra, maka kepuasan batin dalam berkarya akan menjadi prioritas utama, sementara imbalan finansial boleh jadi menempati urutan ke-19 dalam pertimbangan. Sekali lagi, kadar cintalah yang menentukan panjang atau pendekya nafas seseorang untuk berkarya. Bukan karena faktor di luar diri (ekternal). Ibarat orang menikah, kalau cintanya sejati maka sampai pasangan hidupnya keriput dan ringkih perasaan dia tetap penuh gelora, tak ada niat untuk berpaling apalagi meninggalkan.
Di Kalsel ada beberapa sosok sastrawan yang hingga memasuki usia senja tetap setia berkarya. Penyair Arsyad Indradi tak hanya menggebu-gebu jika diajak diskusi tentang sastra, juga dibarengi dengan produktivitasnya dalam melahirkan puisi-puisi. Karya-karyanya dapat dilihat dari antologi puisi tunggalnya : Nyanyian Serberibu Burung, Romansa Setangkai Bunga, Narasi Musafir Gila dan Kalalatu puisi Bahasa Banjar dan terjemahan Bahasa Indonesia Kumpulan puisi bersama antara lain : Jejak Berlari, Panorama, Tamu Malam, Jendela Tanah Air, Rumah Hutan Pinus, Gerbang Pemukiman, Bentang Bianglala, Cakrawala, Bahana, Bulan Ditelan Kutu, Anak Zaman, Baturai Sanja, Tiga Kutub Senja dan Dimensi dan lain-lain. Terakhir, ia menerbitkan buku 142 Penyair Menuju Bulan. Bayangkan, dari mengumpulkan bahan dengan menyurati para penyair yang tersebar di Nusantara, mengedit, mencetak -- konon katanya sampai beberapa buah printernya rusak – termasuk pembiayaan ditanggungnya sendiri. Begitu rampung, antologi puisi itu dia bagi-bagikan dan sebar secara gratis. Mungkin tak banyak orang yang mau melakukan hal itu. Karenanya, tak heran jika ia kemudian dijuluki “Penyair Gila”.
Menurut istilah Arsyad Indradi, kalau kita ingin citra penyair Kalsel diperhitungkan di tingkat nasional harus berani ‘berdarah-darah’. Dan itu tak sekadar diucapkannya, tapi dibuktikan dengan tindakan riil. Alhasil, nama Arsyad Indradi memang meroket. Bukan hanya di media lokal, koran-koran nasional pun membicarakan sosok dan kiprahnya.
Gebrakan lain yang dilakukan Arsyad Indradi ialah membuat blog, sehingga pembaca di belahan dunia manapun dapat menikmati karya-karyanya. Bahkan ia punya trik jitu tersendiri, sehingga kalau orang mengetik penyair Nusantara di internet, pastilah namanya yang nongol duluan. Ternyata meskipun sudah tua, Arsyad Indradi tak mau ketinggalan dalam penguasaan teknologi untuk menunjang publikasi karya-karyanya.
Penyair berikut yang walaupun sudah jadi seorang kakek, namun tetap eksis berkarya adalah Hamami Adaby. Pensiunan Kepala Kantor Departemen Penerangan Tabalong (1986-1994) dan Batola (1994-1998) ini gairahnya dalam bersastra sudah tak diragukan. Hal itu tergambar dari kesinambungannya dalam berkarya, sebagaimana bisa dilihat dari buku antologi pribadi: Desah, Senja, Iqra, Nyanyian Seribu Sungai, Kesumba, Bunga Angin, Dermaga Cinta, Uma Bungas Banjarbaru dan Kaduluran. Belum lagi karya-karyanya yang tersebar dalam antologi bersama.
Mampu menerbitkan buku, katanya, merupakan kebahagiaan yang tak ternilai. Karena itu, ia berusaha setiap hari untuk berkarya. “Orang ribut-ribut bagi BLT juga bisa dijadikan puisi,” ujar Hamami Adaby ketika acara selamatan di rumah Sainul. Pernyataan itu menegaskan, betapa ia tak pernah berhenti untuk berkarya.
Begitu pula dengan HM Syamsiar Seman, di usia senjanya terus berkarya. Kalau dulu pria kelahiran Barabai 1 April 1936 ini gencar menulis puisi dan cerpen, belakangan ia lebih konsentrasi mengangkat seni budaya Banjar. Sudah banyak buku yang dihasilkannya, bahkan sebagian dikoleksi di perpustakaan Washington, Amerika Serikat. Katanya, dengan menulis buku dapat memperpanjang usia; walaupun kita sudah meninggal dunia buah karya kita tetap dikenang orang.
Atas dasar pertimbangan itulah semangat berkarya Syamsiar tak pernah surut. Ia menulis tak terikat waktu, bisa kapan dan di mana saja. Kadang sambil mengambil gaji pensiunan, karena menunggu panggilan cukup lama, ia duduk di pojok ruangan untuk menulis. Demikian juga saat di rumah sakit daripada bingung menanti giliran antri ia corat-coret kertas untuk bahan tulisan. Bahkan Syamsiar punya kebiasaan unik, setiap naik taksi dia pasti memilih bangku depan – dengan begitu selama dalam perjalanan ia bisa menulis.
Sungguh semangat dan dedikasi berkarya mereka patut untuk ditiru. Faktor ketuaan bukanlah penghalang dalam berkreasi. Justru, ibarat kelapa makin tua makin bersantan. Dengan beragamnya pengalaman hidup yang direguk, tentu makin banyak pula bahan yang bisa diolah untuk berkarya.
Kondisi kesehatan yang tidak seprima ketika masih muda, bukan alasan buat berhenti berkarya. Sebab menulis lebih dominan menggunakan pikiran ketimbang tenaga. Buktinya, Kuntowijoyo (alm) saat dalam kondisi sakit parahpun tetap mampu menghasilkan karya sastra. Karena kelima jarinya tidak bisa digerakkan, ia mengetik menggunakan satu jari. Bahkan, ketika sudah tak berdaya ia minta bantu pada sang istri dengan mendiktekan isi pikirannya. Ya, hanya kematian yang bisa menghentikan dia untuk berkarya.
Lalu, bagaimana dengan sastrawan-sastrawan muda yang masih energik dan punya masa depan panjang, dapatkah membuktikan diri mereka untuk terus berkarya hingga batas usia? Biarlah waktu yang akan menjadi saksi!
***

Padaringan Sastra, 19 Juli 2008
Aliansyah Jumbawuya, sastrawan tinggal di Banjarmasin.. Terbit di : Banjarmasin Post, minggu 24 Agustus 2008.

Arsyad Indradi Menuju Bulan



Oleh: Syaifuddin Gani*

Bismillah. Pukul 21.00 Wita. Setelah menunggu sekian jam, koran nasional dari Jakarta akhirnya datang juga. Memang untuk mendapatkan koran Jakarta, harus menunggu sampai malam. Aku membeli beberapa, termasuk Harian Republika. Koran Kendari, yang tiga buah itu, tidak menyediakan rubrik sastra dan budaya. Sehingga bisa dibayangkan, seperti apa wajah kebudayaan dan kesusastraan di daerah yang pernah memiliki Kesultanan Buton/Wolio ini. Salah satu warisan Sultan Idrus Kaimoeddin, salah seorang raja, adalah menciptakan kabanti, sastra/puisi tutur yang terkenal itu. Sampai kini, masyarakat terus menyanyikannya, baik pada saat menjelang tidur, dirundung rindu kepada anak, kekasih, dan handai taulan, ataupun acara resmi adat dan pemerintah. Tradisi ini tidak berlanjut kepada penciptaan karya sastra modern. Maksud saya, dalam rentang waktu yang sangat panjang, tidak ada penulis Sulawesi Tenggara yang melanjutkan kerja kepenyairan itu. Baik yang memanfaatkan kabanti sebagai ‘dasar’ penciptaan, maupun menulis puisi modern sebagai hasil dari proses pembacaan dan persentuhan dengan sastra modern lainnya. Kelahiran kembali sastra modern di Kendari, Sulawesi Tenggara, dimulai pada awal 1990-an. Proses ini dimulai saat Achmad Zain mendirikan Teater Sendiri Kendari. Di sanggar tersebut, selain latihan dan pentas teater, juga ada penulisan puisi, cerpen, naskah drama, dan esai. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, sebagian anggota Teater Sendiri kemudian menjadi penyair dan sutradara teater. Saya pun berada dalam lingkaran proses itu.
Usai membaca sajak, cerpen, dan esai Republika, saya membuka lembaran lain dan membaca sebuah permintaan ke seluruh penyair tanah air untuk mengirimkan sajaknya dalam rangka penerbitan Antologi Puisi Nusantara. Kendari memang jauh dari hiruk pikuk kesusastraan Indonesia. Baik dalam hal publikasi di media massa, diskusi, maupun penerbitan buku. Apalagi memang, puisi modern Kendari baru ditulis dalam masa waktu sepuluh tahun itu. Publikasi ke luar merupakan salah satu cara memperkenalkan sekaligus evaluasi atas karya tersebut. Saya lantas menyampaikan rencana penerbitan tersebut kepada beberapa teman, namun ditanggapi kurang serius. Akhirnya lima buah sajak saya kirim ke alamat Bang Arsyad Indradi. Pegumuman di Republika menyampaikan bahwa penerbitan antologi ini dilaksanakan bulan April 2006. Tapi minggu berganti bulan menjelma tahun, informasi mengenai itu tidak juga jelas. Saya menelpon ke Bang Arsyad, ya sementara diedit, terlalu banyak penyair yang mengirimkan karyanya, katanya. Saat itu saya di Taman Budaya Kendari dan beliau di dalam mobil, sementara perjalanan dari Banjarmasin menuju Banjarbaru. Dugaan saya Pak Arsyad adalah seorang muda yang penuh semangat juang tinggi. Perkiraan yang meleset ini, yang di kemudian hari melahirkan kesan simpatik yang dalam atas seorang Arsyad Indradi yang berjuang sendirian melahirkan karya fenomenal dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Suatu saat saya berpikir, mungkin antologi ini sudah terbit, tetapi sajak saya tidak tercantum di dalamnya. Saya memang menduga, bahwa upaya mengupulkan, pengeditan, sampai pada penerbitan akan membutuhkan waktu yang panjang. Apalagi memang, pekerjaan ini sepenuhnya inisiatif, keringat, dan biaya dari seorang penyair senja yang dilakukan untuk kepentingan silaturrahmi penyair dan mempelajari perkembangan perpuisian nusantara mutakhir, sebagaimana yang dinyatakan Jarkasi dalam pengantarnya.
Akhirnya, cita-cita Pak Arsyad Indradi tercapai juga untuk ‘terbang sampai di bulan’. Antologi yang dikerja selama setahun telah tersebar ke berbagai pelosok nusantara. Informasi yang saya peroleh dari Micky Hidayat, sewaktu bersua dalam acara Pesta Penyair Indonesia di Medan 25-28 Mei 2007, bahwa penyair berusia 58 tahun ini, harus mencari dana sendiri untuk merampungkan niatan luhurnya. Bisa jadi, ini adalah ikhtiar mulai untuk melawan hegemoni kapitalis yang menggerogoti penerbitan sastra Indonesia. Beliau harus ke Surabaya untuk membeli alat percetakan, yang kemudian dikerjakan di rumahnya, dengan bantuan beberapa kaum muda. Senin, 23 April 2007, pukul 14.25 Wita, saya menerima paket pos berupa bungkusan berwarna cokelat. Saya menduga bahwa bungkusan itu berisi buku puisi dari Banjarbaru. Setelah kubuka, sebuah buku tebal bergambar tatasurya dan bertulisakan, Antologi Penyair Nusantara, 142 Penyair Menuju Bulan. Diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (KSSB) Kalimantan Selatan.Tebalnya 728 halaman. Penyunting dan penata letaknya, Pak Arsyad Indradi. Saya lantas merunut kembali ke belakang, pengiriman naskah puisi yang hanya melalui alamat rumah via pos. Ratusan naskah harus diketik ulang. Barsngkali karena melalui cara inilah, sebagian sajak (termasuk salah satu sajak saya, hilang satu larik). Seandainya, pengirimannya melalui pos-el (email), kemungkinan untuk terjadinya salah cetak, kecil.
Sejenak saya terdiam. Ini sebuah hasil dari pekerjaan besar. Buku tebal 728 halaman. Alhamdulillah, buku ini saya terima. Kucari nama saya, dan termuat pada halaman 641. Inilah antologi puisi pertama yang memuat karya saya di luar Kendari, setelah sebelumnya termuat dalam antologi bersama Sendiri 1, 2, 3, Malam Bulan Puisi, Antologi Tunggal ‘Perjalanan’ (Teater Sendiri), Kendari (Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara), dan terakhir, Medan Puisi, Antologi Puisi Penyair Indonesia, Sempena The 1st Medan International Poetry Gathering. Apa pentingnya bagi saya dan Kendari umumnya atas pemuatan tiga buah sajak saya? Paling tidak, karya puisi saya juga telah menyapa penyair lain dan masyarakat penikmat sastra nusantara.
Bagi saya, 142 Penyair Menuju Bulan, untuk kepentingan tertentu, memiliki nilai dan posisi yang sama dengan Tonggak (Linus Suryadi), Puisi dan Prosa Angkatan 66 dan Kesusastraan Zaman Jepang (HB. Jassin), Angkatan 2000 (Korrie Layun Rampan) maupun dokumentasi sastra lainnya. Perbedaannya adalah, buku yang diterbitkan Pak Arsyad lebih bersifat dokumentasi dan representasi penyair nusantara, sementara HB. Jassin dan Korrie memiliki landasan estetik yang kemudian melahirkan angkatan dalam sastra Indonesia. Perbedaan lain adalah, 142 Penyair Menuju Bulan luput dari pembicaraan dan perbincangan media massa, penyair, dan kritikus sastra. Apakah karena penerbitannya dilakukan di luar ‘pusat’ sastra? Atau karena penggagas sekaligus penyunting karyanya adalah seorang Pak Arsyad Indradi yang tidak tercatat dalam kitab puisi dan ‘tokoh’ sastra Indonesia? Bukankah sebetulnya, sastra Indonesia memiliki tokohnya masing-masing yang berdiam di daerah dan menghidupi kesusastraannya sendiri? Barangkali saya salah dalam memahaminya. Tetapi sesuatu yang pasti adalah pekerjaan tanpa tanda jasa dari penyair tua yang tinggal di Banjarbaru ini adalah karya monumental dalam sejarah sastra Indonesia. Mungkin banyak penyair terkini yang tidak terlalu mengenal beliau, tetapi hasil karya nyatanya, berhasil mengukir namanya sebagai tokoh lain dalam pengembangan dan pendokumentasian perjalanan puisi kita.
Menurut cerita Jarkasi, pengamat kebudayaan Banjarmasin, Bapak Arsyad Indradi menemui di rumahnya, siang hari, untuk menjadi pengulas pada antologi ini. Oleh karena rasa kagum tinggi atas kemauan yang keras pria kelahiran Desember 1949 ini, luluh juga hati dosen FKIP Unlam Banjarmasin ini untuk mengamininya. Sebuah keinginan dan proses memang sangat berarti. Justru di sinilah letak nilai yang terkandung dalam buku ini. Proses panjang beserta lika-liku yang melelahkan, melahirkan karya yang bermakna besar. Tidak main-main, 142 dari 186 penyair yang dilesakkan ke bulan. Ia pun menjadi salah satu titik cahaya dalam cakrawala sastra Indonesia. Cahaya yang tidak boleh padam dan dipadamkan oleh siapapun. Oleh karena ia menjadi bagian dari cahaya ‘bintang’ yang lain. Apakah keseluruhan buku yang dikirim ke panyairnya masing-masing lahir dari waktu penerbitan yang sama? Tidak! Menurut Micky, Pak Arsyad harus mengerjakan secara manual beberapa buku saja dulu, untuk dikirim ke wilayah tertentu. Untuk wilayah yang lain, dilakukan dengan proses yang sama pula. Dan Akhirnya, mungkin, saat ini semua penyair telah menerima masing-masing buku yang dilahirkna dengan susah payah. Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, tempat saya bekerja, sempat meminta kepada Pak Arsyad untuk mengirimnya sebagai dokumentasi perpustakaan, akan tetapi beliau menggandakan dalam jumlah terbatas dan harus mengutamakan penyairnya.
Tentunya, dari segi kualitas estetik dan tematik, mencerminkan keberagaman. Hal ini dapat dipahami oleh karena Pak Arsyad tidak memberikan ‘batasan’ tertentu terhadap penyair dan karyanya yang boleh diikutkan. Meskpun demikian, proses pembukuan ratusan karya ini, tetap lahir dari usaha penyuntingan yang ketat. Sehingga dari 186 penyair yang mengikutkan karyanya, hanya 142 penyair saja yang ikut pada penerbitan pertama ini. 142 Penyair Menuju Bulan, mencerminkan wilayah asal penyair yang beragam. Menurut hasil penghitungan saya yang bisa saja keliru, terdapat 49 kota/daerah asal penyair di antologi tersebut. Adapun hasil penghitungan jumlah penyair dari kota tersebut adalah: Medan 2 penyair, Riau 2 penyair, Bandung 13 penyair, Solo 2 penyair, Yogyakarta 11 penyair, Banten 6 penyair, Jakarta/Depok 17 penyair, Sleman 2 penyair, Banjarbaru 7 penyair, Banyumas 1 penyair, Samarinda 4 penyair, Ngawi 2 penyair, Malang 3 penyair, Jambi 7 penyair, Makassar 3 penyair, Padang 1 penyair, Aceh 4 penyair, Surakarta 1 penyair, Sumbawa 1 penyair, Semarang 2 penyair, Kotabaru 2 penyair, Mataram 6 penyair, Banjarmasin 2 penyair, Pekanbaru 2 penyair, Medan 2 penyair, Bekasi 1 penyair, Tangerang 3 penyair, Bali 2 penyair, Pangkal Pinang 2 penyair, Palembang 3 penyair, Martapura 1 penyair, Lampung 3 penyair, Kudus 4 penyair, Cirebon 1 penyair, Tenggarong 1 penyair, Ambon 2 penyair, Sukabumi 1 penyair, Bogor 1 penyair, Majalengka 1 penyair, Surabaya 2 penyair, Boyolali 1 penyair, Kebumen 2 penyair, Bangka Belitung 1 penyair, Tasikmalaya 1 penyair, Balikpapan 1 penyair, Jember 1 penyair, Kendari 1 penyair, dan Lamongan 1 penyair. Tentunya masih banyak penyair dari kota yang sama ataupun kota lain yang tidak mengikutsertakan puisinya di antologi tersebut. Penyair Jimmy Maruli Alfian saya anggap sebagai penyair asal Lampung dan Sutarjdi Zalcoum Bachri dari Jakarta.
Saya tidak tahu persis, maksud Pak Arsyad menyebut 'Menuju Bulan' sebagai nama antologi ini. Saya menduga-duga diambil dari judul sajak Puput Amiranti N, halaman 459, penyair wanita dari Surabaya. Ataukah 'bulan' yang dimaksud adalah simbol/lambang pencapaian kepuasan batinnya menerbitkan Antologi Puisi Nusantara ini, lantas menyandingkan dengan 'bulan' lain dalam 'tata surya' kesusastraan Indonesia? Saya akan mengutip beberapa larik dari bait kedua sajak Puput tersebut:
mungkin kita saling berciuman
di bawah bulan tak mengenal
tubuh kita terbakar
cahaya-cahaya lalu lalang
menggambar bayangan sendiri

Antologi Pusi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan adalah hasil sebuah obsesi besar dan mulia yang kini mewarnai taman sastra Indonesia. Banjarbaru dan Kalimantan Selatan umumnya, mencatatkan dirinya sebagai wilayah kebudayaan yang memiliki apresiasi tinggi terhadap ekspresi kebudayaan. Arsyad Indradi adalah nama pencatat itu. Selamat Ulang Tahun ke-57 Pak Arsyad. Kerja luhur dan puisi yang lahir, memang kadang lebih abadi dari usia manusia. Alhamdulillah.
Saya akan mengutip bait puisi Pak Arsyad yang berjudul Darah:
semesta bergoncang Hu Allah
arasy pun bergoncang Hu Allah
darahku aujubillah
darahku astagfirullah
darahku subhanallah
Allah
Penulis:Bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara dan aktif di Teater Sendiri Kendari




ADA APA DENGAN SENIMAN BANJARBARU ?

Oleh : Harie Insani Putra

Ada yang hilang di Banjarbaru. Dulu kota ini bisa memberikan sebuah kenangan kepada siapapun. Barangkali masih ada yang ingat, bagaimana sebuah taman yang kecil saja menumbuhkan banyak kerinduan ?
Orang – orang selalu ingat dating ke sana. Sebenarnya bukan tempat yang pantas jika seniman ingin menampilkan karyanya ditempat itu. Sebuah taman yang langsung bertemu dengan jalan raya.
Memang selalu ada yang mengeluh. Suara mereka habis dtelan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan. Apa lagi kalau yang lewat sepeda motor yang sudah di modif knalpotnya. Ampun. Tak ada rumusnya pembacaan puisi bersaing dengan knalpot. Tapi percayalah, semua itu cukup bagi seniman untuk menunjukkan karyanya. Setiap sabtu sore, komunitas Godong Kelorselalu memainkan teater kisah kocak ( Tekicak ), tanpa ada yang membayar, tanpa diminta,mereka tetap saja bekarya di taman itu mereka saling menunjukkan hasil karya.
Diam – diam, ada sebuah kerinduan yang hilang ketika orang datang ternyata bukan sekedar tamana saja. Tapi juga kesenian. Tapi sekarang, di sana hanya ada sebuah taman. Tidak ada lagi seniman yang ngumpul sekedar ingin bercengkrama. Satu persatu mulai pergi dan tak ada janji untuk kembali. Taman itu kini seperti sebuah wajah yang diliputi murung dan muram. Kenapa seniman Banjarbaru tak lagi membaringkan tubuhnya ketika lelah, malam hari, saat – saat puisi ingin selalu dibacakan lagi ?
Sebuah zaman tentulah menawarkan perubahan. Tak ada yang tetap kecuali keyakinan. Bahwa Banjarbaru kelak menjadi kota yang sarat dengan aktivitas seni dan bdaya ? Pastilah mereka tetap ada atau memang sudah tidak ada lagi.
Segala kemungkinan bisa terjadi kapan saja tapi bukan tanpa ada sebabnya. Kemandegan komunitas seni di Banjarbaru itu sedang terjadi secara missal. Sangat disayangkan jika sebabnya tak jelas. Tanpa mengetahui masalahnya, bagaimana mungkin dapat memulihkan keadaan.
Tak ada seorang pun patut disalahkan. Zaman telah berubah, demikian juga para seniman. Burukkah akibatnya jika taman itu tak lagi dikunjungi para seniman ? Barangkali tidak. Arsyad Indradi misalnya, ia kurung dirinya di sebuah rumah dengan tumpukan kertas. Melipat, menggunting, mengiris hingga jadilah antologi Puisi Penyair Nusantara. Hasil kerja kerasnya itu membuahkan hasil yang ia sendiri tak menduganya.
Sebuah harian Cina memuat ulasan tentang buku tersebut. Tentu saja dengan bahasa Cina. Sebuah persembahan yanag luar biasa dari Arsyad Indradi untuk Banjarbaru. Dalam benak orang Cina; dimanakah itu Banjarbaru ? Seperti apakah itu Banjarbaru ? Dengan buku itu pastilah orang Cina menganggap Banjarbaru sedemikian asyiknya. Lantas adakah Banjarbaru ingin memberikan sebuah penghargaan kepadanya ? Seperti ketika Sutardji Calzoum Bachri mengadakan ulang tahun. Datang seorang utusan mengucapkan salam dan selamat dari pemerintah provinsi Riau dengan membawa sedikit hadiah untuknya.
Dalam hati kecil berkata, betapa Banjarbaru banyak memiliki orang – orang hebat. Shah Kalana Al Haji di Godong Kelor, Azis Muslim di Tetas, Rifani Djamhari di Forum Taman Hati, Isuur LS di Loeweng Production, Hamami Adaby di Parimata, Eza Thabry di Kilang Sastra Batu Karaha,, dan masih banyak lagi nama yang pantas disebut. Lantas kemana mereka dan ada apa dengan mereka ?
Tanda Tanya ini tidak memiliki jawaban. Barangkali Anda ingin menjawabnya atau tidak usah dijawab saja ?. [ ]