Orang – orang selalu ingat dating ke sana. Sebenarnya bukan tempat yang pantas jika seniman ingin menampilkan karyanya ditempat itu. Sebuah taman yang langsung bertemu dengan jalan raya.
Memang selalu ada yang mengeluh. Suara mereka habis dtelan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan. Apa lagi kalau yang lewat sepeda motor yang sudah di modif knalpotnya. Ampun. Tak ada rumusnya pembacaan puisi bersaing dengan knalpot. Tapi percayalah, semua itu cukup bagi seniman untuk menunjukkan karyanya. Setiap sabtu sore, komunitas Godong Kelorselalu memainkan teater kisah kocak ( Tekicak ), tanpa ada yang membayar, tanpa diminta,mereka tetap saja bekarya di taman itu mereka saling menunjukkan hasil karya.
Diam – diam, ada sebuah kerinduan yang hilang ketika orang datang ternyata bukan sekedar tamana saja. Tapi juga kesenian. Tapi sekarang, di sana hanya ada sebuah taman. Tidak ada lagi seniman yang ngumpul sekedar ingin bercengkrama. Satu persatu mulai pergi dan tak ada janji untuk kembali. Taman itu kini seperti sebuah wajah yang diliputi murung dan muram. Kenapa seniman Banjarbaru tak lagi membaringkan tubuhnya ketika lelah, malam hari, saat – saat puisi ingin selalu dibacakan lagi ?
Sebuah zaman tentulah menawarkan perubahan. Tak ada yang tetap kecuali keyakinan. Bahwa Banjarbaru kelak menjadi kota yang sarat dengan aktivitas seni dan bdaya ? Pastilah mereka tetap ada atau memang sudah tidak ada lagi.
Segala kemungkinan bisa terjadi kapan saja tapi bukan tanpa ada sebabnya. Kemandegan komunitas seni di Banjarbaru itu sedang terjadi secara missal. Sangat disayangkan jika sebabnya tak jelas. Tanpa mengetahui masalahnya, bagaimana mungkin dapat memulihkan keadaan.
Tak ada seorang pun patut disalahkan. Zaman telah berubah, demikian juga para seniman. Burukkah akibatnya jika taman itu tak lagi dikunjungi para seniman ? Barangkali tidak. Arsyad Indradi misalnya, ia kurung dirinya di sebuah rumah dengan tumpukan kertas. Melipat, menggunting, mengiris hingga jadilah antologi Puisi Penyair Nusantara. Hasil kerja kerasnya itu membuahkan hasil yang ia sendiri tak menduganya.
Sebuah harian Cina memuat ulasan tentang buku tersebut. Tentu saja dengan bahasa Cina. Sebuah persembahan yanag luar biasa dari Arsyad Indradi untuk Banjarbaru. Dalam benak orang Cina; dimanakah itu Banjarbaru ? Seperti apakah itu Banjarbaru ? Dengan buku itu pastilah orang Cina menganggap Banjarbaru sedemikian asyiknya. Lantas adakah Banjarbaru ingin memberikan sebuah penghargaan kepadanya ? Seperti ketika Sutardji Calzoum Bachri mengadakan ulang tahun. Datang seorang utusan mengucapkan salam dan selamat dari pemerintah provinsi Riau dengan membawa sedikit hadiah untuknya.
Dalam hati kecil berkata, betapa Banjarbaru banyak memiliki orang – orang hebat. Shah Kalana Al Haji di Godong Kelor, Azis Muslim di Tetas, Rifani Djamhari di Forum Taman Hati, Isuur LS di Loeweng Production, Hamami Adaby di Parimata, Eza Thabry di Kilang Sastra Batu Karaha,, dan masih banyak lagi nama yang pantas disebut. Lantas kemana mereka dan ada apa dengan mereka ?
Tanda Tanya ini tidak memiliki jawaban. Barangkali Anda ingin menjawabnya atau tidak usah dijawab saja ?. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar