Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair GilaRisalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila Risalah Penyair Gila

Salam sastra,

Rencana awal adalah membukukan esai/artikel mengenai Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan sebagai buku pendamping antologi tersebut, namun naskah yang tersedia minim sekali maka timbul pemikiran agar rencana pembukuan tetap dilaksanakan, akhirnya esai yang ada ditambah beberapa esai lainnya yang isinya berhubungan dengan saya lalu saya terbitkan menjadi buku kumpulan esai “ Risalah Penyair Gila “ ini. Esai mengenai Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan saya muat di antologi tersebut sebagai epilog untuk cetakan yang kedua. Saya tak dapat membalas kebaikan dan solidaritas teman – teman atas esai – esai tersebut buat saya, selain mengucapkan terima kasih. Semoga Tuhan yang akan membalaskannya. Amin. Buku kumpulan esai ini adalah sebagai kenang – kenang ultah saya yang ke – 59, 31 Desember 2008.

Banjarbaru, 31 Desember 2008

Arsyad Indradi



Sabtu, 19 April 2008

“NARASI PENYAIR GILA” ARSYAD INDRADI


Oleh : Dr. Sudaryono M.Pd

Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi


Kalau ada kegilaan adalah kegilaan kreatif. Dengan kreativitas, kegilaan penciptaan dimungkinkan. Dengan kegilaan pula dapat dikecap capaian-capaian artistic sebuah sajak. Penyair terkadang seperti orang “gila” (gila dalam tanda kutip). Artinya ,di tengah-tengah masyarakatnya penyair acap tampil anomaly, menyendiri, mengasingkan diri dari interaksi massif, dan secara personal menampilkan sosok yang sering “nyleneh”, aneh, dan sulit dipahami. Hal seperti itu tidak ditemukan pada puisi-puisi penyair dari Banjarbaru : Arsyad Indradi yang menyedot perhatian untuk digumuli.
Kegilaan Arsyad Indradi dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi segenap inderanya dalam menciptakan puisi masih dapat dinikmati. Niscaya merupakan sebuah kegilaan manakala dalam satu tahun diterbitkan buku kumpulan puisi : Nyanytian Seribu Burung (April 2006), Narasi Musafir Gila (Mei 2006), Romansa Setangkai Bunga (Juni 2006), dan Kalalatu (September 2006) yang semuanya diterbitkan secara swadana oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru yang dipimpinnya. Gila ! Mungkin begitu komentar orang. Kali ini perhatian secara khusus mengarah pada Narasi Musafir Gila yang memuat 90 puisi yang ditulis tahun 2000-an.
Dari mana pembicaraan ini dimulai ? Pembicaraan puisi bisa dimulai dari mana saja. Antologi ini dibuka dengan “ Narasi Ayat Batu”. Sebagai pembaca kita lantas ingat adanya prasasti, tugu, daun lontar dan sebagainya yang menyimpan kearifan. Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit/ Yang terhampar di sajadahku / Kujatuhkan di tebingtebing lautmu / Cuma gemuruh ombak dalam takbirku// ...Kuseru namamu tak hentihenti / Di ruasruas jari tanganku/ Yang gemetar dan berdarah/ Tumpahlah semesta langit / Di mata anak Adam yang sujud di kakimu (Banjarbaru,2000). Puisi ini secara intens mengungkapkan pergulatan penyair dalam menghayati “misteri” illahi.
Arsyad Indradi yang memasuki usia 54 tahun pada Desember 2008 ini seterusnya menulis “Narasi Pohon Senja” seperti ini : Kukalungkan lampulampu di ranjangmu/ Lalu kujadikan pengantin/ Lalu kunikahi daunmu kepompong birahi dendam/ Lahirlah kupukupu/ Betapa nikmat dalam dahaga / Menjelajahi tubuhmu/ Mencari rangkaian bunga/ jauh dalam lubuk jantungmu (Hal.2). Sajak ini lebih mengedepankan kontemplasi dengan ilahi ditampilkan melalui penginsanan-hubungan manusiawi dengan idiom symbol hubungan pengantin di ranjang. Dalam “Narasi Gairah Embun” secara manis penyair menulis seperti ini “Mulutmu wangi sarigading/ Menyentuh gordengorden jendela/ Tapi jangan kau buka/ Sebentar lagi pagi beranjak tiba (hal.3). Secara analogis, metaforis, dan liris dalam “Narasi Tanah Kelahiran” dinyatakan “Kau beri aku sampan/ Riakriak menyusuri uraturat nadi/ Wajahmu sudah lain tapi begitu angkuh/ Tumbuh rumahrumahbatu” (hal.4). Pergulatan dan pergumulan penyair sampai pada kenyataan bahwa “Aku/Anak Adam/ Yang tersesat di sajadahMu (“Zikir Senja”, hal.8).
Memasuki usia senja, penyair semakin intens mengolah rahasia pertemuan dengan sang Khalik. Intensitas itu membuahkan puisi-puisi relegius yang lembut dan kongkret. Lebih kongkret lagi ketika penyair lantas mengkaji bumi yang dipaijak. Bumi yang memberikan kesadaran bahwa persoalan manusia tidaklah semata berkomunikasi dengan Sang Khalik, melainkan juga perlu membaca denyut kehidupan di bumi. Puisi-puisi yang mewakili tema kehidupan di bumi yang ia pijak antara lain “Ekstase Seorang Pejalan Jauh”,”Etam Sayang Gunung” , “Romansa Bulan Saga””, Romansa Seekor Hong”, “Romansa Setangkai Bunga”, “Romansa Di Bawah Hujan Cinta Pun Abadi “, “Pertemuan”, “Jalan Begitu Lengang”.
Hal yang unik dan menarik, penyair Arsyad Indradi mencoba menawarkan cara ungkap multikultur dengan memanfaatkan campur code bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam beberapa puisinya seperti : “As One of the Song, Mamimeca”, “ Elly : Sonata is Silent”, dan “In My Last Mirrage”. Kita cermati bagaimana penyair memakai campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam puisinya. Dalam “As One of the Song, Mamimeca” ditulis begini “ ... Aku tahu betapa letih wajahmu/ Dalam gugusan maha kelam / May soul stay in the wind, Mami” (hal 27). “Aku musafir/ Liriklirik yang jatuh dari matamu/ Jatuh gemersik : Give to me one the world/ Di kulminasi bukit/ Kupetik kembang ilalang :/ may sure not at all raincloud / Elly di tebingtebing :/I have lost my wind (Elly : Sonata is Silent, hal 29). Pemanfaatan campur kode dalam puisi ibarat membuat gado-gado, bahan-bahan yang berlainan dipadu jadi satu, dan ternyata enak juga.
Mengahiri pembicaraan ini , kita tampilkan puisi yang dijadikan judul buku kumpulan puisi. Judul puisi yang dijadikan judul buku , biasanya dijagokan sebagai gambaran pencapaian estetis dan gambaran sikap penyairnya. Bagaimanakah capaian estetis dan gambaran sikap penyair Arsyad Indradi ? Kita simak sajak “ Narasi Musafir Gila “ selengkapnya.

Mendadak cahaya itu terjebak dalam belitan kabut
Porakporandalah cakrawala dan aku kembali harus
bergumul dengan persimpangan jalan
Tapi aku tak sudi mengatakan : Ajalkan aku di sini

Kudakudaalas berloncatan pada goncangan bumi
Pada angin yang menepuk dada
Kugilakan musafirku ke padang luas
Padang abadabad persembunyianmu

Sebab aku telah mengatakan :
Kuabukan s’luruh mimpimimpi purbaku
Dan kutapakan dalam tubuh tembokmu
Agar tak kan kau usik lagi s’luruh jejakmu

Puisi yang ditulis di Bandung pada 2006 seakan menandai pengembaraan spiritual penyair. Arsyad Indradi tampaknya sampai “Pada Suatu Halte”, tempat istirah sejenak, tujuan perjalanan, dan tempat bertolak melakukan petualangan yang lebih gila. Estetika yang ditawarkan penyair, pola ucap puisi-puisinya, dan tematis puisi-puisinya tampak akan serupa air yang mengalir menuju muara makna. Demikianlah pembicaraan sederhana, semoga silaturrahmi batiniah terjembatanni. Salam budaya.

Jambi, 21 Januari 2007

Dimuat di : Radar Banjarmasin, Minggu 28 januari
Republika, Minggu

Tidak ada komentar: