
Oleh : Diah Hadaning
Catatan khusus tentang antologi puisi sepuluh penyair Banjarbaru ( Arsyad Indradi, Eza Thabry Husano, Hamami Adaby, Hudan Nur, Isuur Loeweng, S.Fatimah Adam, Harie Insani Putra, Nina Idhiana, Syamsuri Barak, Ali Syamsudin Arsi ) ini, merupakan jembatan panjang persahabatan sastra antarkawasan. Catatan dari Warung Sastra DIHA. Buku dengan tebal 108 halaman yang dieditori Ogi Fajar Nuzuli diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (2005), ini baru merupakan sebagian peta kepenyairan Kalsel khususnya Banjarbaru.
Kita temukan nafas cinta kota kelahiran, hulu dari rasa cinta tanah air, seperti kita baca pada puisi ‘ Perempuan Itu Bernama Pertiwi’ (hl 9), ‘ Notasi di Atas Kota ‘ (hl 16), ‘Cikang’ (hl 19), Khasidah Kemerdekaan’ (hl 36), ‘Tafsir Sebuah Kota’ (hl 37), ‘Banjarbaru Kota Pendidikan’ (hl 49),’Kotaku Indah’ (hl 53), ‘Banjarbaru’ (hl 68),’Kubangunkan Banjarbaru’ (hl 93), sayang tak mungkin WSD kutipkan lengkapnya puisi – puisi tersebut atau dengan kata lain pembaca harus membaca langsung DIMENSI (2005).
Modernisasi, teknologi, kemajuan di satu sisi, menghadirkan ‘kehancuran’ di sisi lain yaitu nilai – nilai tradisi yang menafasi eksistensi bangsa ini, yang menjaga ‘mahkota jiwa’ bangsa ini. Penyair dalam DIMENSI bukan tak menangkap fenomena ini. Muncul pula kritik – kritik kepada atau terhadap perwujudan yang banyak ‘membunuh’ – menghilangkan – bahkan ‘menindas’ ruh yang hidup oleh mantra – mantra ( yang ikut jadi korban ) budaya modern yang kontroversial dan membuat banyak ‘manusia’ jadi marjinal (hl 25,27). Ya, kritik keras terhadap perilaku manusia pengusung peradaban baru. Semua itu menimbulkan kegetiran, parodi karena tak berdaya menepis keangkuhan yang merajalela berpasangan dengan kerakusan duniawi yang kini sering dijadikan ‘panglima’. Tertera pada hal. 22 misalnya, merupakan protes keras pada pelaksanaan pelestarian lingkungan hidup namun dalam bahasa yang tetap santun. Lebih merupakan mawas diri atas ketidakberdayaan menghadapi kondisi dan situasi yang menghampar.
Pilihan tema yang beraneka seperti, kerinduan pada Tuhan, rindu perubahan, lingkungan hidup, juga tak meninggalkan tema – tema indahnya persahabatan, cinta
DIMENSI berhasil menepis perbedaan senior – yunior. Penyair dalam DIMENSI benar – benar lintas generasi yang menampilkan kebersamaan. Mereka yang lahir antara tahun 1938 – tertua ( E.Thabri Husano ) dan tahun 1987 – termuda ( Nina Idhiana ) merupakan hutan humus
Menulis panjang banyak diminati ( dalam DIMENSI ). Bisa kita temukan pada Perempuan Itu Bernama Pertiwi ( Indradi ), Leluhur, Sebab Aku Bukan Orang Bukit, Rumah – Rumah Padang Ilalang, Guru Para Penyair Berkata, Indonesia Dalam Kaca Mata Luka ( Arsi ), Sebuah Kota Menggesek Biola Ajaib, Orkestrasi Danau Air Mata, Tafsir Sebuah Kota, Improfisasi Abad – Abad Kehidupan, ( Husano ), SDM, Andai ( Fatimah ), Aku Menulus, Intan, Atikah, ( Hamami), Kemusnahan Peradaban Bukit, Demam Peluru Hujan ( Harie ), Auraku Terukir di Prasastiku ( Hudan ), Yang Ada Di Antara Mimpi, Aku Berdiri Di Antara Butiran Cinta ( Isuur).
Sajak – sajak pendek menarik juga kita nikmati dalam DIMENSI. Keangkuhan Malam I, Epigram I & II, ( Hudan ), Penat ( Nina ), Kubangunkan Banjarbaru, Dia Yang Kucari, Aku Ingin Cinta-Mu ( Samsuri ). Kita nikmati satu di antaranya, Epigram Nasib I dari Hudan : riak aliran sungai itu menghempaskan aku ke batu – batu kasat / dari satu sudut ke sudut lain / juga menghalau dayungku dari kanan ke kiri //
( Catatan Dari Warung Sastra DIHA, Depok- Bogor )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar